Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Sabtu, 28 April 2012

Belajar Menulis 1

Makassar, Rabu, 25 April 2012, pukul 19.27
  
BELAJAR MENULIS

Tulisan ini merupakan tulisan awal dari proses belajar menulis yang mengikuti rekomendasi penulisan dari buku “daripada bête, nulis aja!” karya Caryn Mirriam-Golberg, Ph.D halaman 33-34. Isi tulisan merupakan jawaban dari beberapa pertanyan yang diajukan dalam buku ini sebagai pintu masuk menuju langkah pertama menulis. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk menuntun penulisan yaitu:
-          Mengapa kamu ingin menulis?
-          Apakah kamu menganggap dirimu penulis? Mengapa ya, mengapa tidak?
-          Mengapa menulis itu penting?
-          Manfaat apa yang kamu dapatkan dan kamu harapkan dari menulis?
-          Apa yang kamu dapatkan dari menulis? Apa yang telah dilakukannya untukmu?
-          Apa yang paling ingin kamu tulis?

Saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut tidak dengan merunut satu-persatu pertanyaan tetapi langsung membuatnya dalam sebuah tulisan secara acak. Maksudnya, setiap pertanyaan yang jawabanyannya hampir sama akan dijawab sekaligus meskipun itu tidak berurutan.
***
Saya ingin belajar menulis karena menulis merupakan investasi jangka panjang. Maksudnya adalah dengan menulis kita bisa memperpanjang usia bahkan melampaui masa hidup kita. Seperti tokoh-tokoh yang hidup di zaman yunani kuno ribuan tahun sebelum masehi misalnya Plato, Aristoteles, Socrates dll; pemikiran mereka masih hidup dan mewarnai zaman kita. Dengan kata lain, menulis merupakan gerbang menuju keabadian.
Begitu pentingnya tulisan sehingga menjadi penanda antara zaman prasejarah dengan zaman sejarah. Zaman prasejarah merupakan zaman dimana manusia belum mengenal tulisan sedangkan zaman sejarah berlangsung saat manusia mulai mengenal tulisan dan menulis sejarahnya. Selanjutnya sejarah merekam perkembangan dari masa ke masa sehingga manusia tidak lagi perlu mencari dari awal tentang sebuah ilmu atau sekedar pengetahuan. Kita tidak lagi perlu mencari tau bagaimana cara membuat lampu karena telah ada tulisan dari Thomas Alfa Edison mengenai penemuannya tersebut sehingga kita tinggal mengembangkan lampu itu menjadi sesuatu yang baru.
Sepenggal ulasan diatas jelas menunjukkan bahwa saya belum dapat digolongkan sebagai seorang penulis profesional. Seorang pembaca awam pun pasti dengan mudahnya mengiyakan bahwa tulisan diatas masih lebih tepat digolongkan sebagai celotehan belaka tanpa memberikan pengetahuan baru yang berarti bagi pembaca. Namun demikian, kesepakatan dari pembaca tidak lantas menjadi penghalang tapi justru menjadi penyemangat untuk terus belajar menulis. Karena bahkan messi pun tidak langsung terlahir sebagai pemain terbaik dunia tetapi terlebih dahulu jatuh bangun luka-luka belajar lika liku menendang bola. Sebagaimana halnya karya besar sekelas La Galigo atau Mahabrata pun diawali dari sebuah titik yang dalam kondisi tertentu hanya dianggap tak lebih dari noda.
Kemampuan menulis khususnya tulisan ilmiah sering diidentikkan dengan penggunaan kedua belahan otak. Menulis merupakan penggabungan antara berpikir logis yang merupakan domain otak kiri dengan berkreasi yang merupakan domain otak kanan. Dengan demikian, berlatih menulis secara tidak langsung juga melatih perkembangan otak kiri dan otak kanan sekaligus juga koordinasi diantara kedua belahan otak tersebut. Menulis merupakan proses merangkai pengetahuan yang sudah ada dalam memori menjadi sebuah kreasi kata dalam bentuk tertulis. Kualitas sebuah tulisan ditentukan oleh kualitas pengetahuan yang akan dirangkaikan. Bermimpi, berharap atau bercita-cita menjadi penulis professional berarti bersedia mengawalinya dengan pencarian pengetahuan yang memadai tentang bidang atau hal yang akan ditulis. Ini dapat dianalogikan sambil berenang minum air makan ikan. Sambil belajar menulis, kita sekaligus melatih kemampuan otak dan memotivasi diri untuk belajar lebih banyak.
Menulis adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dengan pengetahuan. Jika seluruh pepohonan dijadikan pulpen dan seluruh lautan dijadikan tintanya maka itu belum cukup untuk menuliskan semua pengetahuan yang ada di dunia ini. Luasnya pengetahuan berarti pula luasnya bidang atau hal yang dapat ditulis. Mustahil bagi seseorang untuk mengetahui segala pengetahuan berarti juga mustahil bagi sesorang untuk dapat menulis segala hal. Untuk itu, fokus dalam satu bidang merupakan langkah yang terbaik untuk mulai menulis.
Ilmu pemerintahan merupakan salah satu bidang yang menarik untuk menjadi bahan tulisan. Ilmu pemerintahan merupakan ilmu yang masih kontroversial dikalangan pakar ilmu kenegaraan. Ilmu pemerintahan masih belum mapan sebagai sebuah bidang ilmu. Ini merupakan peluang besar untuk melibatkan diri dalam pencarian jati diri keilmuan dari ilmu pemerintahan karena masih banyak hal untuk dicari dan ditulis. Akan lebih menarik mencari pengetahuan baru ketimbang sekedar mempelajari yang sudah mapan.
***
Sebagai evaluasi atas tulisan yang dibuat, dalam buku tersebut disiapkan pertanyaan evaluatif “Kejutan apa yang kamu temukan?”. Pertanyaan ini mengevaluasi perasaan saat menulis sampai tulisan selesai. Dari tipenya, jika diklasivikasikan berdasarkan pertanyaan dalam penelitian, pertanyaan ini merupakan pertanyaan tertutup dan terbuka. Pertanyaan tertutup karena sudah diarahkan bahwa penulis akan merasakan keterkejutan pada saat selesai menulis sedangkan pertanyaan terbuka menanyakan perasaan terkejut apa yang ditemukan.
Benar saja bahwa penulis merasa terkejut bahwa ternyata pertanyaan sederhana ternyata dapat dikembangkan kemana-mana sehingga yang paling penting ada perasaan bahwa “menulis bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan”.

***Silahkan Mencoba!!!!!***

Rabu, 11 April 2012

Narsisme Kelompok


Narsisme Kelompok : Buah Dehumanisasi Pengkaderan

Kekerasan menjadi fenomena yang kian merebak akhir-akhir ini. Yang paling marak adalah kekerasan antar kelompok, dari kelompok masyarakat hingga kelompok mahasiswa. Jika kita menyoal tentang kekerasan maka salah satu penyebab kekerasan yang dapat diidentifikasi adalah apa yang disebut oleh Erich Fromm dalam bukunya “Akar Kekerasan” sebagai “Narsisme Kelompok”.
Narsisme dijelaskan oleh Erich Fromm sebagai kondisi pengalaman seseorang dimana yang dia rasakan sebagai sesuatu yang benar-benar nyata hanyalah tubuhnya, keutuhan perasaannya, pikirannya kekayaan atau benda-benda serta orang-orang yang ada hubungan dengannya. Dapat disimpulkan bahwa Fromm menggambarkan narsisime sebagai sebuah pemisahan diri mutlak seseorang dengan lingkungannya. Selain dirinya adalah sesuatu yang semu.  Narsisme membangkitkan sikap agresif atas segala sesuatu yang mengganggu keagungan citra dirinya menurut dirinya sendiri.
Dalam konteks kelompok, Fromm menjelaskan bahwa bila objek narsisme adalah kelompok maka individu narsistik dapat sepenuhnya menyadari narsisnya dan mengungkapkannya tanpa hambatan apapun. Penegasan bahwa “Negara Saya” (atau bangsa atau agama saya) yang paling hebat, paling berdaya, paling kuat, paling cinta damai dan sebaganya sama sekali tidak berlebihan bahkan terdengar sebagai ungkapan patriotisme, keyakinan dan kesetiaan. Celakanya penegasan tersebut sepertinya nyata sebagai sebuah kebenaran oleh karena bagi sebagian orang yang tidak memiliki daya kritis, kenyataan dibangun berdasarkan konsesnsus. Narsisme kelompok sebagaimana narsisme individu membangkitkan sikap agresif terhadap sesuatu yang menggangu keyakinan kelompok tersebut.
Narsisme kelompok bisanya teraktualkan kedalam simbol-simbol yang diyakini oleh anggota kelomponya. Simbol-simbol ini biasanya berupa nama, slogan, lagu,  gambar, warna, angka,  dll dengan segala pemaknaannya. Fanatisme simbolik ini kadang menjadi identitas yang menyatukan suatu kelompok dan mengidentifikasi yang lain sebagai sesuatu yang berbeda dengannya bahkan tidak nyata baginya. Proses internalisasi simbol dapat dilakukan dengan proses sugesti. Sugesti itu sendiri diartikan sebagai sebuah pernyataan yang diterima tanpa adanya daya kritis. Sugesti terjadi karena beberapa hal, diataranya karena banyak, karena sedikit dll. Karena banyak yaitu karena sebagian besar orang menyepakati sesuatu maka sesuatu itu dinyatakan sebagai sebuah kebenaran. Karena sedikit dimaksudkan karena orang sedikit itu adalah orang yang ahli, dan orang yang ahli selalu benar.
Dalam konteks kelompok mahasiswa, proses internalisasi biasanya dilakukan dalam proses pengkaderan mahasiswa baru. Mahasiswa baru yang umumnya belum memiliki daya kritis yang memadai dengan jumlah yang minoritas jika dibandingkan dengan anggota kelompok yang telah lebih dahulu bergabung (red:senior) akan bersosialisasi dengan mayoritas senior yang telah sepakat dengan simbol kelompoknya. Dalam proses pengkaderan, biasanya akan tampil seorang senior yang menjelaskan makna dan histori dari simbol-simbol kelompoknya, seseorang yang dianggap ahli untuk itu. Tanpa daya kritis, mahasiswa baru akan menelan bulat-bulat sugesti-sugesti tersebut.

Dehumanisasi Pengkaderan
Pengkaderan sejatinya merupakan proses transformasi nilai-nilai kemanusiaan. Pengkaderan merupakan proses pendidikan yang oleh karenanya juga merupakan proses memanusiakan manusia. Proses menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya berdasarkan fitrahnya. Proses mengaktualkan potensi-potensi kemanusiaan seorang manusia. Oleh karena  itu, seharusnya semua proses dalam pengkaderan didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan.
Manusia dalam perspektif personal dalam proses humanisasi dimaksudkan untuk mengoptimalkan semua potensi-potensinya, baik jiwa maupun raganya. Dalam perspektif universal, manusia adalah bagian dari lingkungan, bagian dari alam semesta. Segala hal yang menjauhkan manusia dari dirinya secara personal maupun universal adalah sebuah tindakan dehumanisasi.
Proses pengkaderan harusnya mampu menciptakan kesadaran kritis terhadap anggota kelomponya. Karena menciptakan kesadaran kritis merupakan proses optimalisasi potensi akal sebagai salah satu identitas kemanusiaan. Dengan kesadaran kritis, anggota baru tidak akan mudah terjebak pada sugesti-sugesti yang akan semakin menjauhkanya dari fitrah kemanusiaannya.
Proses internalisasi simbol kelompok sebagai salah satu agenda pengkaderan sejatinya merupakan sebuah proses humanisasi sepanjang tujuannya adalah melepaskan seseorang dari narsisme individu, oleh karena jika seseorang bergabung dalam sebuah kelompok maka dia setidaknya mengakui orang lain sebagai bagian dari kelompoknya. Namun kemudian proses itu seharusnya dibarengi dengan kesadaran universal sehingga menghindarkan seseorang atau kelompok tersebut dalam sebuah narsisme kelompok. Simbol kelompok seharusnya hanya dijadikan sebagai sebuah sarana penyadaran akan keberagaman dan bukan menjadikan kelompok yang satu berbeda apalagi menafikkan secara eksistensial dengan kelompok yang lain. Wallahuallam bishawab

Selasa, 03 April 2012

Poilitik Hitler BBM

“Mundur Satu Langkah untuk Maju Tiga Langkah” 

Itulah salah satu ungkapan Hitler yang cocok untuk menyimpulkan drama rencana kenaikan harga bbm akhir-akhir ini. Hasil pleno DPR tentang rencana kenaikan harga BBM berakhir dengan kemenangan telak pemerintah. Bagi masyarakat awam yang melihat fenomena ini hanya sebatas naik atau tidaknya harga bbm pasti telah merasa lega dengan hasil pleno DPR. Karena secara praktis, yang paling penting adalah tidak disepakatinya kenaikan harga BBM. Namun tidak demikian bagi segelintir orang yang lebih peka menganalisis hasil pleno tersebut. Bagi kalangan masyarakat yang lebih fundamental melihat masalah, hasil pleno DPR tentang rencana kenaikan harga BBM justru merupakan kekalahan telak bagi masyarakat, bagi ideologi dan bagi kedaulatan Indonesia. DPR melalui mekanisme voting menyepakati menambahkan regulasi baru yang substansinya memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk dapat mengatur harga BBM dengan berdasarkan pada fluktuasi harga minyak dunia. Penambahan regulasi tersebut berarti menjadikan harga minyak dunia sebagai satu-satunya variabel penentu penyesuaian harga BBM. Mencermati tarik ulur wacana yang menjadi bahan bakar yang menyulut api perdebatan pro dan kontra rencana kenaikan harga BBM, mengarahkan pandangan kita tidak hanya pada satu variabel untuk dipertimbangkan. Kenaikan harga minyak dunia, tingkat inflasi, pendapatan perkapita, social cost, pengelolaan energi, efisiensi keuangan pengelolaan negara dll merupakan variabel-variabel yang ikut menjadi argumen dari masing-masing pihak untuk setuju atau tidak setuju dengan usulan pemerintah tersebut. Jadi jelaslah bahwa terlalu naïf jika hanya satu variabel yang dilegalisir menjadi pertimbangan penentuan harga BBM. Harusnya semua variabel lain juga ikut dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Karena semua variabel tersebut saling berkaitan khususnya dalam konteks penentuan harga. Jika suatu saat harga minyak dunia naik drastis melampaui standar penyesuaian harga tetapi disaat yang bersamaan keuangan Negara dikekola dengan efisien sehingga pemerintah masih mampu mensubsidi maka pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM. Sebaliknya, misalnya jika harga minyak dunia turun drastis melampaui standar penyesuaian harga tetapi disisi lain pendapatan perkapita masyarakat Indonesia justru naik drastis maka tidak perlu menurunkan harga BBM. Asumsi-asumsi pemerintah dalam rencana kenaikan harga BBM dari awal memang hanya seputar kenaikan harga minyak dunia yang dituangkan kedalam data-data matematis. Jadi tidak mengherankan jika variabel itu yang menjadi fokus utamanya dalam menyesuaikan harga BBM. Fakta sebaliknya datang dari beberapa fraksi di DPR yang semula mempertimbangkan banyak fariabel untuk menolak kenaikan harga BBM tapi di akhir waktu ternyata memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menyeseuaikan harga BBM hanya berdasarkan satu variabel. Boleh jadi, dari awal memang pemerintah dengan koalisinya di DPR sudah menyepakati titik akhir dari rencana kenaikan harga BBM ini. Mereka sengaja menggiring opini publik dengan seolah-olah berbeda sikap secara ekstrim dalam menanggapi rencana kebijakan ini sehingga memungkinkan kompromi untuk mengurangi perbedaan secara ekstrim tersebut padahal dari awal titik komprominya sudah selesai pada politik panggung belakang mereka. Pemerintah jalan ke barat, Fraksi di DPR jalan ke timur dan mereka sepakat bertemu di Utara. Fenomena rencana kenaikan harga BBM tak lebih dari sekedar drama politik belaka. Lagi-lagi politik pencitraan. Namun kali ini pencitraan yang dibangun bukan pencitraan yang positif, tapi justru pencitraan negatif. Meski demikian, yang namanya politik pasti ada kepentingan dibelakangnya. Kalau politik pencitraan positif jelas tujuannya untuk meningkatkan elektabilitas sedangkan pencitraan negative dipastikan untuk memperoleh sesuatu yang lebih besar dari sekedar dukungan. Sebab, pengorbanan yang lebih besar pasti dilakukan untuk hasil yang lebih besar. Pemerintah dalam drama rencana kenaikan harga BBM mati-matian mensosialisasikan rencana kenaikan harga BBM dengan durasi yang terbilang lama. Stigma “pemerintah yang kejam, tidak memikirkan rakyatnya dll” dibiarkan mengendap dalam pikiran rakyat. Dalam kondisi demikian, muncullah kubu oposisi intra dan ekstra parlementer sebagai pahlawan membela kepentingan rakyat. Tidak cukup sampai membiarkan rakyat berpikiran negative kepada pemerintah, justru stigma itu ditambah dengan tindakan represif dan otoriter dalam mempertahankan rencana kebijakan. Maka semakin menumpuklah kebencian masyarakat kepada pemerintah yang teraktualkan dalam tidakan perlawanan terbuka kepada pemerintah. Masyarakat berhadap hadapan dengan pemerintah, yang harus ada salah satu diantaranya menjadi pemenang dan yang lainya menjadi yang dikalahkan. Inilah wacana publik yang ingin ditampilkan. Asumsi yang berkembang adalah kenaikan harga BBM adalah kemenangan pemerintah sedangkan jika tidak naik berarti kemenangan untuk rakyat. Anti klimaks dari drama politik menempatkan masyarakat sebagai pemenang dan pemerintah sebagai pecundang. Wacana “perang” dengan tuntutan menang dan kalah ini akhirnya mengaburkan alasan substansial peperangan itu sendiri terlupakan, yang paling penting adalah siapa yang menang dan siapa yang kalah. Masyarakat yang merasa menang dengan lega kembali ke kehidupannya, kembali bekerja dan kembali kuliah. Alasan ideology, kedaulatan Negara dan kesejahtraan yang hakiki tidak lagi menjadi perhatian mereka. Pemerintah dengan wajah murung di depan pentas politik, tersenyum lebar atas sebuah kemenangan besar. Gagal dalam mengajak masyarakat melalui wakilnya mendukung rencana kenaikan harga BBM tidak berarti apa-apa jika kemudian kewenangan untuk itu telah sepenuhnya ada di tangannya. Pemerintah akhirnya tak perlu lagi mendapat dukungan rakyat untuk bisa menaikkan harga BBM. Akhirnya masyarakat semakin teralienasi dalam menentukan kualitas kehidupannya. Lebih jauh lagi, sistem penyesuaian harga BBM berdasarkan pada harga minyak dunia dapat diartikan bahwa system penyesuaian harga BBM mengikuti mekanisme padar bebas. Sistem tersebut tidak lain merupakan system dari ideology Neoliberalisme yang sangat bertentangan dengan Konstitusi NKRI. Ini berarti kemenangan mutlak bagi pemerintah yang dari awal disinyalir sebagai antek antek neoliberalisme. Pemerintah tidak berhasil menaikkan harga BBM tapi disisi lain berhasil menginjeksikan ideologinya, berhasil menguasasi sepenuhnya kewenangan mengontrol harga, dan seperti keberhasilan-keberhasilan sebelumnya yaitu berhasil sekali lagi membodoh-bodohi masyarakat. Pemerintah mundur selangkah dengan tuduk membungkuk kemudian maju tiga langkah dengan membusungkan dada. Makassar, 3 April 2012 wie_nhc@yahoo.co.id
 
 
Blogger Templates