Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Sabtu, 16 November 2013

Catatan Perjalanan di Borobudur


Jogja, 15 Novermber 2013, sekitar pukul 10.00 pagi saya beberapa orang teman berangkat ke Borobudur. Ini kali kedua saya ke Borobudur meskipun baru pertama kali masuk ke wilayah candinya. Seperti perjalanan sebelumnya, perjalanan kali ini juga dalam rangka mengantar teman-teman yang datang ke Jogja. Bedanya, jika sebelumnya saya hanya jadi penumpang kali ini saya yang jadi drivernya.

Tepat sebelum shalat jumat kami sudah sampai di Borobudur. Setelah shalat Jumat, kami masuk ke wiilayah Borobudur. Sebelum masuk ke wilayah candi, kami menyempatkan diri makan siang sembari mepersiapkan energi untuk berkeliling di Candi Borobudur. Diantara banyak warung makan, entah kenapa teman-teman memilih warung yang catnya serba pink. Mulai dari tembok, kursi meja, dapurnya semuanya berwarna pink. Aneh juga rasanya duduk di antara barang-barang yang diwarnai dengan warna yang terkesan feminim sementara tidak satu pun wanita yang ikut dalam rombongan. Lebih parahnya lagi, diatara kami ada seorang tentara dan beberapa orang mantan "anak Mapala". Image yang tentu saja maskulin dikelilingi oleh warna-warna yang feminim. Tapi sepertinya hanya saya yang berpikir begitu. Teman-teman yang lain tidak tampak mempersoalkan hal sepele yang menjadi perhatianku.
Sambil menunggu makanan yang  kami pesan, tempat kami diserbu oleh ibu-ibu yang berjualan souvenir. Mereka sangat gigih menawarkan barang dagangannya hingga beberapa orang diantara kami tertarik untuk membeli souvenir dengan harga yang beragam. Ada yang dapat harga yang lebih mahal dan ada pula yang berhasil menawar dengan harga standar. Yang menarik ketika gelombang pertama penjual souvenir pergi, serbuan penjual souvenir gelombang kedua kembali menghampiri kami. Meskipun sudah ditegaskan bahwa kami sudah punya souvenir yang di tawarkan, ibu-ibu itu masih saja terus menawarkan dengan bermacam-macam "kalimat promosinya". Salah seorang penjual mengatakan "ini harganya murah mas, harga hujan". Ha' harga hujan? saya berpikir sejenak sambil menahan tawa. Mungkin yang dimaksud harga hujan yaitu harga murah karena pengunjung kurang di saat hujan. Ini hukum ekonomi dengan bahasa rakyat pikirku. Setelah yang satunya pergi, datang lagi pedagang lain yang mewarkan souvenir dengan kalimat promosi: "beliin anaknya mas" katanya kepada kami semua. Refleks saya menjawab, "disini belum ada yang punya anak mbak". Kemudian ibunya membalas "ya emang sampai tua gak bakalan punya anak mas, istrinya yang punya. Beliin ponakannya aja kalau begitu". Mendengar jawaban itu, pikiranku buntu, tidak mampu menelaah kalimat itu secara jernih. Saya takut kalau itu adalah doa, Nauzubillahi min zalik. Belakangan baru saya mencoba memahami maksudnya, mungkin saya terlalu berprasangka buruk menganggap ibu itu mendoakan yang buruk-buruk, semoga maksudnya "gak bakalan punya anak" itu adalah tidak mungkin melahirkan. Biarpun mendapat pencerahan, saya akhirnya lebih memilih diam dan tersenyum saja sambil mengangkat tangan menunjukkan ekspresi penolakan. Ekspresi yang saya yakini sebagai ekspresi penolakan secara halus. Maklum, waktu kuliah dulu pernah ikut mencari dana kegiatan dengan menjadi sales makanan ringan di Pantai Losari. Meskipun yang ditawari tidak membeli dagangannya kami, tetapi tentu beda rasanya jika ditolak dengan senyum daripada "dicuekin".

Ketika makanan sudah ada di hadapan kami, hujan turun secara perlahan-lahan, mulai dari gerimis hingga hujan badai. Saya yang duduk di bagian paling ujung kursi panjang harus berhenti sejenak makan dan memindahkan makanan ke kursi lain yang terlindung dari hujan. Sampai makanan kami habis, hujan terus saja turun sehingga kami masih harus menunggu hingga hujan reda. Satu kejadian unik terjadi di saat itu. Ketika selokan di samping kios penuh dengan air hujan, seekor tikus sebesar anak kucing keluar dari selokan dan lari berteduh di bawah pohon. Mungkin karena merasa kedinginan, tikus itu berlari ke arah kios pakaian di depan warung tempat kami makan. Pemilik kios yang kebetulan berdiri di depan kiosnya melihat tikus itu berlari kearahnya dan berusaha melompat masuk ke kiosnya. Lompatan pertama dan kedua tikus itu berhasil di tepis oleh ibu pemilik kios. Ibu itu menepis tikus yang mencoba masuk ke kiosnya persis seperti kiper yang menahan bola masuk ke gawangnya. Rasa dingin yang berlebihan mungkin mendorong tikus itu berbuat nekat. Pada lompatan ketiga tikus itu berhasil masuh kek kios baju tersebut dan bersembunyi entah dimana. Sampai hujan reda dan kami sudah maninggalkan warung makan, ibu pemilik kios itu masih membogkar-bongkar barangnya untuk mencari tikus nekat itu.

Seperti halnya pengunjung pada umumnya, aktifitas yang dominan kami lakukan tentu saja adalah mengambil gambar alias foto-foto. Banyak sekali spot-spot yang sangat eksotis untuk dijadikan latar pengambilan gambar. Tapi seperti halnya ketika berada di lokasi wisata atau di gunung-gunung yang pernah saya jejali, keindahan yang tampak di depan mata tidak akan pernah tertangkap secara sempurna oleh kamera secanggih apapun. Itulah mengapa melihat foto ataupun video tidak pernah memuaskan hasrat seseorang untuk datang ke suatu tempat. Yang terjadi justru sebaliknya, hasrat untuk berkunjung justru semakin bertambah setelah melihat foto atau video orang lain yang sudah pernah ke tempat itu.

MENGAGUMKAN!!! Mungkin kata itu yang terpikirkan ketika melihat Borobudur ini. Saya sungguh kagum melihat batu-batu yang tersusun rapi menyerupai puzzle di ukir dengan sangat detail. Saya lalu berpikir bagaimana bangunan semegah dan sekompleks ini bisa dibangun oleh orang-orang disaat teknologi arsitektur belum berkembang? Mungkinkah rumor yang mengatakan bahwa bangunan ini dibangun dengan bantuan jin adalah benar adanya? Mungkinkah di zaman dimana ilmu teknik sudah berkembang pesar, masih ada yang mampu membuat bangunan seperti ini? Ah, daripada pusing memikirkan jawabannya, saya cukup menikmati saja keindahannya.

Mendekati tingkat teratas dari Borobudur, beruntung saya mendengar banyak hal dari Guide yang bercerita banyak kepada pengunjung lain. Banyak hal yang sebelumnya tidak diperhatikan secara detail ternyata mengandung banyak makna simbolik. Salah satunya adalah ketika kammi sudah hampir sampai pada tingkat tertinggi di Borobudur, ternyata sudah tidak ada lagi ukiran-ukiran manusia dan binatang. Alasannya katanya karena tingkat itu sudah tingkatan surga sehingga tidak lagi ada pelajaran hidup disitu. Selain itu, digambarkan bahwa setiap tingkat di lantai atas ini memiliki stupa model stupa yang berbeda. Ada yang puncaknya bersegi empat yang dimaknai sebagai surga bagi orang-orang yang mengamalkan empat ajaran. Di tingkat selanjutnya dianggap sebagai surga dengan tingkatan yang lebih tinggi. Puncak dari stupa ini bersegi delapan yang berarti telah menjalankan delapan ajaran. Tingkatan ini katanya tingkatan surga bagi orang-orang suci. Satu hal lagi yang sempat saya dengar yaitu hawa-hawa dingin yang terasa di puncak Borobudur itu bukan berasal dari angin melainkan aliran energi. Guide itu menunjukkan puncak pohon yang hampir setinggi tempat kami berdiri itu sama sekali tidak menunjukkan adanya gerakan yang berarti tidak ada angin pada saat itu. 

Puas berkeliling dan mengambil gambar, kami pun memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan turun dari tingkat atas, saya sudah mulai detail memperhatikan ukiran-ukiran di dinding Borobudur. Sebagian ukiran yang saya anggap unik tidak lupa saya ambil gambarnya. Sampai di bawah, dalam perjalanan keluar lokasi candi, saya melihat masih banyak lokasi menarik dari candi Borobudur yang menarik untuk dikunjungi diantaranya ada dua museum dan satu kandang gajah, sayang waktu kami terbatas. Ini menjadi catatan penting buat saya jika suatu saat dapat kesempatan kembali ke Borobudur. Setidaknya, dua hal yang saya yakini perlu diperhatikan yaitu datang lebih pagi, dan membekali diri dengan pengetahuan sejarah Borobudur biar lebih detail mengamati setiap sudut Borobudur.

Keluar dari lokasi Candi Borobudur saya berpikir ini akhir dari cerita perjalanan kali ini. Namun ternyata satu pengalaman penting saya dapatkan ketika menunggu teman-teman berkumpul sebelum pulang. Seperti sebelum masuk wilayah candi, saat keluar pun kami masih di serbu oleh penjual souvenir yang datang silih berganti. Reaksi saya masih seperti tadi, menolak secara halus dengan senyuman. Namun ternyata satu diantara pedagang souvenir itu tidak seperti pedangan sebelumnya yang menawari saya souvenir. Pertama kali ibu itu menawarkan souvenirnya saya masih sempat menolak. Tetapi begitu melihat senyumnya, saya melihat ada rona kecewa dan kesulitan hidup yang ditampakkannya sebelum saya akhirnya menyadari satu hal yang sangat mengganggu pikiran dan perasaan saya. Senyum ibu itu mirip dengan senyum ibu saya. Saya betul betul terhentak dan akhirnya membeli souvenirnya. Saya membelinya bukan dengan niat ingin memiliki souvenirnya tetapi agar ibu itu merasa senang dan semoga terbantu dengan lakunya barang dagangannya. Yang saya sesali hingga sekarang adalah mengapa saya masih sempat menawar barang dagangannya. Mungkin karena saya sudah tau harga standar barangnya makanya saya pikir cukup dengan membeli harga standarnya. Tetapi yang mengganggu adalah saya mendapati diri saya setengah-setengah dalam menolong.

Hanya dengan melihat wajah ibu saya di raut muka ibu itu membuat saya sedemikian sedih. Satu hal yang saya syukuri adalah dia bukan ibu saya dan ibu saya tidak bekerja seperti itu. Saya kemudian berdoa semoga saya tidak akan pernah membiarkan ibu saya bekerja seperti itu. Tapi saya juga sadar bahwa ibu yang tadi memang bukan ibu saya tapi kemungkinan dia ibu dari seongan anak yang mungkin tidak berdaya hingga membiarkan ibunya harus mengejar-ngejar (sebagian sudah memohon-mohon) pelanggan untuk membeli barang dagangannya. Saya sadar sekali bahwa saya hanya dianugerahi kesempatan yang lebih baik dari mereka. Saya dilahirkan dari keluarga yang mau dan mampu membiayai saya sekolah hingga pasca sarjana seperti sekarang ini. Sementara mereka hanya tidak beruntung dilahirkan di lingkungan yang tidak beruntung. Saya tau persis kondisi ini, karena ilmu saya memang memungkinkan untuk memahami fenomena ini. Yang semakin membebani adalah saya sering menjadi pemateri tanggungjawab kaum intelektual yang tidak hanya membahas fenomena ketimpangan karena persoalan kesempatan tetapi juga tanggung jawab yang lahir dari anugerah kesempatan yang menguntungkan itu. Semoga beban ini mengingatkan dan meneguhkan tekad saya untuk dapat berbuat lebih untuk orang-orang tidak beruntung seperti mereka.Perjalanan pun usai, tapi tidak dengan cerita dan kisah spiritual yang ditinggalkannya. Semoga masih ada kesempatan untuk kembali ke Borobudur, dan yang paling penting Semoga ada diberik kemampuan, kesempatan dan diteguhkan tekadku untuk berbuat banyak kepada orang-orang lain khususnya untuk ibuku, keluargaku dan orang-orang yang tidak punya banyak pilihan dalam menjalani hidupnya..Amin

Rabu, 30 Oktober 2013

Memaknai Kembali Kebebasan

Berbicara masalah demokrasi tidak terlepas dari pembahasan masalah kebebasan. Demokrasi diidentikkan dengan sejumlah kebebasan. Di dunia barat model demokrasi liberal menjadi bukti betapa dekatnya demokrasi dengan kebebasan. Di dunia timur atau lebih tepatnya di dunia ketiga yang sedang gencar-gencarnya menerapkan sistem demokrasi, kebebasan merupakan sesuatu yang diagung-agungkan menggantikan sistem otoritarianisme yang sebelumnya mengekang kebebasan masyarakat.

Makna Kebebasan
Mencermati pandangan awam dalam penilaian tentang kebebasan, mungkin akan disimpulkan bahwa Indonesia memasuki masa kebebasan dalam banyak hal. Namun perlu tetap dipertanyakan kembali mengenai makna kebebasan itu, apakah masyarakat Indonesia telah benar-benar bebas? Untuk merenungkan pertanyaan itu, salah satu standar yang menarik untuk dijadikan standar kebebasan adalah pendapat dari Kishore Mahbubani dalam buku Asia Hemisfer Baru Dunia. Kebebasan menurut Mahbubani terbagi kedalam beberapa kriteria diantaranya: bebas dari rasa ingin (freedom from want), kebebasan karena ada rasa aman (freedom of security), kebebasan seseorang untuk memilih pekerjaan (freedom to choose one’s employment), Kebebasan untuk memilih tempat tinggal (freedom to choose one’s occupation), bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang oleh pemerintah (freedom from arbitrary arrest and detention), kebebasan berpikir (freedom to think), kebebasan berekspresi (freedom to expression), serta bebas untuk memilih seorang pemimpin (freedom to choose one’s ruler).
Berdasarkan standar kebebasan yang diungkapkan Mahbubani, kebebasan-kebebasan di Indonesia dapat diklasifikasi kedalam tiga kategori yaitu belum bebas, bebas proporsional dan kebablasan. Kondisi ideal tentu saja bebas itu sendiri yaitu kebebasan yang proporsional, tidak kekurangan dan tidak juga kebablasan.
Kebebasan yang dikategorikan belum bebas adalah freedom from want, freedom of security, freedom to choose one’s employment, dan freedom from arbitrary arrest and detention. Untuk dua kebebasan yang pertama, terdapat kecenderungan titik balik pasca reformasi. Banyak kalangan menilai tingkat kesejahteraan dan keamanan masyarakat lebih baik pada zaman orde baru ketimbang pasca reformasi. Masyarakat merasa lebih banyak bebas dari tuntutan kebutuhannya dan lebih merasa aman pada masa orde baru ketimbang pada masa reformasi saat ini. Tidak mengherankan ketika akhir-akhir ini banyak beredar gambar-gambar Soeharto disertai tulisan yang intinya menyatakan bahwa zaman orde baru lebih “enak” dari zaman sekarang. Lebih mutakhir, adanya gerakan-gerakan mendukung aksi penyerangan lapas cebongan di Sleman Yogyakarta dengan cara-cara militer  yang bisa disamakan dengan cara-cara orde baru dalam mewujudkan ketertiban.
Kebebasan memilih pekerjaan tetap merupakan masalah klasik dengan kecenderungan yang semakin parah. Pasca reformasi, masyarakat semakin tidak bebas memilih pekerjaan karena yang ingin dipilih semakin tidak ada. Lapangan pekerjaan semakin langka dan pengangguran semakin bertambah. Reformasi tidak membebaskan masyarakat dari pengangguran. Kategori belum bebas yang terakhir adalah bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang oleh pemerintah. Pada awal reformasi, masalah perlakuan sewenang-wenang pemerintah sudah mulai berkurang seiring dengan bregulirnya wacana HAM yang tumbuh satu paket  dengan demokrasi. Namun akhir-akhir ini terlihat adanya titik balik kebebasan ini. Gejalanya terlihat pada kasus penangkapan terduga teroris yang dilakukan oleh Densus 88 yang dinilai sewenang-wenang terhadap masyarakat yang masih belum terbukti sebagai teroris. Tak jarang korbannya mendapat perlakuan kasar bahkan sampai kehilangan nyawa hanya karena diduga teroris. Aksi yang serupa dengan “petrus” di zaman orde baru. Ini berarti kebebasan dari perlakuan sewenang-wenang kembali jauh dari harapan.
Kategori kebebasan yang kedua yaitu kategori bebas proporsional. Termasuk dalam  kategori ini adalah freedom to choose one’s occupation, freedom to think, dan  freedom to choose one’s ruler. Kebebasan yang pertama yaitu kebebasan memilih tempat tinggal ini relatif tidak pernah bermasalah di Indonesia mengingat bahwa pada masa orde baru telah dilaksanakan program transmigrasi yang memungkinkan adanya masyarakat yang berbeda identitas berdomisili di berbagai tempat di Indonesia. Pasca reformasi, masyarakat relatif lebih toleran menerima perbedaan sehingga semakin memperbesar kebebasan ini. Kebebasan yang kedua adalah kebebasan berpikir yang lebih berkaitan dengan kebebasan informasi. Pasca orde baru, keran-keran informasi terbuka lebar melalui berbagai media. Kebebasan pers yang pada masa orde baru dikekang, sekarang tumbuh subur di Indonesia. Kajian-kajian marxisme yang dulu dilarang juga telah dibolehkan untuk dikaji di berbagai ruang ilmiah. Kebebasan berpikir relatif lebih bebas pasca reformasi. Kebebasan yang ketiga adalah kebebasan memilih pemimpin. Kebebasan ini merupakan kebebasan yang benar-benar terasa dizaman reformasi karena dizaman orde baru, masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk memilih pemimpinnya. Ketiga kebebasan tersebut sudah bisa dikatakan bebas secara proporsional dizaman reformasi.
Kategori ketiga yaitu kategori kebablasan. Kebebasan berekspresi, dalam beberapa kasus, sudah dapat dikategorikan kebablasan. Dengan alasan kebebasan berkespresi, terkadang pertimbangan-pertimbangan moral dan agama tidak lagi dihiraukan. Kebebasan yang kebablasan ini akhirnya harus kembali dibatasi meskipun pembatasan berada pada sisi sebaliknya dari pembebasan.
Mencermati ketiga deskrikpsi-deskripsi kebebasan sebagaimana diungkapkan sebelumnya mengarahkan pada kesimpulan bahwa bangsa ini masih memiliki banyak pekerjaan rumah terkait dengan wacana kebebasan. Disatu sisi kita harus berjuang membebaskan masyarakat dari kemiskinan, rasa tidak aman dan pengangguran dan disisi lain pemerintah harus membatasi kebebasan berkespresi yang sudah kebablasan. Usaha paralel ini tampaknya akan lebih mudah jika diawali dengan memaknai kembali kebebasan yang diartikan secara sempit hanya pada kebebasan politik dan kebebasan berkspresi.

Selasa, 17 September 2013

Jogja Nol Kilometer: Catatan Seorang Awam

Tulisan ini merupakan hasil akumulasi dari catatan-catatan kecil penulis selama kurang lebih dua bulan pertama berada di Kota Yogyakarta. Banyak kesan yang muncul dalam pikiran penulis tentang Yogyakarta, namun satu kata yang secara sederhana mewakili semua kesan itu adalah kata “Unik”. Secara kebetulan, RUU Keistimewaan Yogyakarta yang disahkan menjadi Undang-Undang Keistimewaan sekitar satu bulan yang lalu menegaskan kesan unik tersebut.
Jika ingin dirunut satu persatu maka tak cukup waktu untuk membuat daftar keunikan Jogja. Untuk itu, keunikan yang akan disorot dalam tulisan ini adalah beberapa keunikan di Kilometer Nol Kota Yogyakarta. Lebih khusus lagi, tempat-tempat yang menjadi fokus pembahasan yaitu Malioboro, Alun-Alun Utara, Kraton Jogja, Istana Kepresidenan Yogyakarta, Taman Pintar dan Shoping Center. Masing-masing tempat memiliki keunikan dari berbagai sisi.
Kita mulai dari keunikan berdasarkan sisi akses publik. Jika diberi hirarki berdasarkan akses publik maka Malioboro dan Alun-Alun Utara merupakan kawasan dengan akses publik yang paling besar. Di kedua tempat itu, semua kalangan masyarakat bebas untuk beraktifitas. Disana dapat dijumpai semua kalangan masyarakat mulai dari yang miskin maupun yang kaya; pejabat, bangsawan atau rakyat biasa; berpendidikan  ataupun tidak berpendidikan; dll. Sedikit berkurang akses publiknya, Taman pintar dan Shoping Center identik dengan kalangan masyarakat yang berpendidikan. Sebagai tempat yang berbasis ilmu pengetahuan, tentu kedua wilayah ini umumnya dikunjungi oleh masyarakat-masyarakat yang berpendidikan. Selajutnya, Kraton Jogja merupakan tempat dengan akses publik yang terbatas. Beberapa tempat di kraton memang dibuka untuk wisatawan tetapi ada juga yang tertutup khusus untuk internal kraton. Yang dapat mengakses tempat ini tentulah hanya bangsawan dan orang-orang tertentu dengan seizin kraton. Terakhir dari segi akses publik, Istana Kepresidenan Yogyakarta merupakan tempat yang akses publiknya sangat minim. Masyarakat hanya bisa melihat dari luar gedung yang megah itu tanpa pernah bermimpi bisa masuk ke tempat itu. Akses tempat itu hanya untuk pejabat-pejabat pemerintah itupun tentu dengan pengawasan protokoler yang ketat pada saat presiden atau wakil presiden datang.
Keunikan lain dapat dilihat dari sisi persandingan dua unsur yang dikategorikan berbeda satu sama lain. Di kawasan Malioboro banyak ditemui kesenjangan harmonis. Disatu sisi kita melihat makanan-makanan yang dikategorikan tradisional, disisi lain ada makanan yang dikategorikan moderen. Sungguh sulit ditemui di tempat-tempat lain angkringan bersanding harmonis dengan KFC. Begitu pula di kawasan yang sama kita temukan dua sistem pasar yang berbeda. Di pinggir jalan ramai terlihat sistem jual beli yang tradisional dimana masih terjadi tawar menawar antara penjual dan pembeli dan disisi lain kita melihat beberapa Mall dengan sistem yang modern. Di satu jalan yang sama kita dapat melihat sepeda ontel bersanding dengan motor mewah, begitu pula andong bersanding dengan mobil-mobil mewah. Kesemuanya itu bertemu dan bersanding dalam satu ruang publik yang sama, betul-betul unik!

Konsistensi Sejarah
Salah satu yang membuat Jogja Nol Kilometer unik adalah faktor sejarahnya. Daerah ini merupakan daerah pertempuran mempertahankan kemerdekaan RI dari Belanda tahun 1949. Begitu banyak jiwa yang dikorbankan di daerah ini untuk mempertahankan satu kata, MERDEKA. Konsekuensi logis dari pilihan untuk menyatakan kemerdekaan dari penjajahan.
Konsistensi semangat kemerdekaan itu masih terlihat di beberapa tempat dalam kawasan Nol Kilometer ini. Monumen Peringatan Serangan Umum Satu Maret yang dibangun di persipangan jalan merupakan salah satu upaya mempertahankan kesadaran sejarah tersebut. Manifestasi semangat kemerdekaan juga dapat ditemukan dalam dua tempat penunjang ilmu pengetahuan yaitu taman pintar dan Shoping center. Kemerdekaan disini diterjemahkan menjadi kemerdekaan dari kebodohan yang merupakan musuh utama bangsa Indonesia pasca kolonialisme. Keberadaan kedua tempat tersebut merupakan salah satu bentuk perjuangan kemerdekaan yang harus tetap dilanjutkan.
Perjuangan kemerdekaan yang lain juga terlihat dalam upaya mempertahankan kemandirian ekonomi bangsa. Mayoritas pedangang yang ada di Malioboro menjajakan hasil produksi lokal. Barang yang dijual merupakan barang yang diproduksi dengan menggunakan bahan baku lokal dan  diolah atau diproduksi oleh masyarakat lokal. Sebuah bentuk kemandirian ekonomi bangsa dalam skala mikro, berarti juga sebuah usaha mempertahankan kemerdekaan bangsa dari penjajahan ekonomi global. Sebagai bentuk konsistensi terhadap semangat sejarah kemerdekaan bangsa maka seharusnya kehadiran perusahaan-perusahaan multinasional dikawasan bersejarah Malioboro ditinjau ulang keberadaannya.
Menjadi sebuah kehormatan bagi seorang awam seperti penulis dengan mengetahui betapa Istimewanya tanah Jogja dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Alangkah indahnya jika kehormatan yang sama di berikan kepada semua orang yang berkunjung ke kawasan Jogja Nol Kilometer. Untuk itu, penataan kawasan nol kilometer Jogja hendaknya lebih mengedepankan aspek historisnya guna menumbuhkan kesadaran sejarah bagi para pengunjung khususnya pengunjung dari Negara kita sendiri. Harga minimal bagi seorang pengunjung lokal adalah kesadaran sejarah bahwa ditanah mereka berpijak telah tertumpah banyak darah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, semangat berkunjung di Malioboro tidak didasari oleh nafsu konsumerisme melainkan semangat nasionalisme. Begitu pula semangat berkunjung ke Malioboro bukan sekedar semangat jalan-jalan tetapi dilandasi dengan semangat berkontribusi untuk kemerdekaan bangsa. Mungkin sudah saatnya penggunaan branding Malioboro sebagai kawasan jalan-jalan diganti dengan branding yang lebih nasionalis.

Wallahuallam bishawab


[Jogja, 28 Oktober 2012]

Rabu, 29 Mei 2013

Ekspedisi Semeru, 8-12 Mei 2013

https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/970446_4943261495941_1450156981_n.jpg
Ranupani

https://fbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/971134_4943252175708_1575834953_n.jpg
Jeep dari Tumpang ke Ranupani

https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/922724_4943212694721_717782666_n.jpg
Danau Pani (Ranupani)

https://sphotos-b.xx.fbcdn.net/hphotos-prn2/184551_4943189894151_596688323_n.jpg 
Pos Pelaporan Ranupani

https://fbcdn-sphotos-f-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/944204_4943133492741_2052092048_n.jpg 
Mahameru dilihat dari Ranupani

https://sphotos-b.xx.fbcdn.net/hphotos-prn1/936903_4942930327662_889908669_n.jpg
Ranu Kumbolo


https://fbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/21275_4942945008029_878836922_n.jpg
Danau Kumbolo (Ranu Kumbolo)

https://sphotos-a.xx.fbcdn.net/hphotos-frc1/249096_4943340857925_1948983831_n.jpg
Gradasi Cahaya di Camp Ranu Kumbolo

https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/942090_4942887646595_158448286_n.jpg
Camp Ranukumbolo


https://sphotos-a.xx.fbcdn.net/hphotos-ash3/487542_4943140852925_1851059911_n.jpg
Kalimati

https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/946743_4943134732772_2110324213_n.jpg 
Jalur Kalimati Cemoro Kandang

https://sphotos-a.xx.fbcdn.net/hphotos-snc6/248180_4943103771998_342380431_n.jpg
Camp Kalimati

https://fbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/943414_4943045410539_21214211_n.jpg
Summit attack menuuju puncak mahameru

https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/182512_4943040810424_1359832782_n.jpg
Puncak Mahameru

https://sphotos-b.xx.fbcdn.net/hphotos-ash3/941790_4943035210284_520776152_n.jpg
Puncak Mahameru

https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/971823_4943303176983_417100656_n.jpg
Plat Tanda Puncak Mahameru

https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/943337_4942990009154_1939660851_n.jpg
Pemandangan Bromo dari Mahameru

https://fbcdn-sphotos-c-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash4/428580_4942952288211_297946057_n.jpg
Sunrise di Puncak Mahameru

Pengaruh Media Informasi dalam Penetapan Agenda Kebijakan


Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi menjadikan dunia terasa semakin sempit sekaligus semakin luas. Semakin sempit karena teknologi informasi melipat dunia menjadi semakin sempit sebagaimana melipat kertas. Ruang dan waktu dimampatkan oleh begitu cepatnya informasi tersebar (Piliang: 2011). Seseorang tidak perlu untuk pergi ke Palestina untuk mendapatkan informasi adanya serangan Israel yang menewaskan anak-anak di Gaza. Cukup dengan duduk di depan televisi untuk mengetahui keadaan di belahan dunia lainnya. Begitu pula seseorang tidak harus menghabiskan waktu untuk turun dari lantai sepuluh hanya untuk memanggil seseorang yang berada di lantai dasar. Cukup dengan menekan beberapa tombol di handphone untuk menghemat waktu perjalanan beberapa menit. Sebagai perbandingan, dimasa lalu, kabar bahwa Colombus menemukan benua Amerika sampai ke telinga Ratu Isabella setelah lima bulan peristiwa tersebut terjadi; begitu pula kabar tentang pembunuhan Abraham Lincoln sampai ke Eropa setelah dua minggu kerjadian. Sementara itu, dimasa berkembangnya teknologi Informasi, dunia mendengar bahwa Neil Amstrong berhasil mendarat di bulan hanya dalam waktu 1,3 detik (Winarno: 2009).
Disisi lain, perkembangan teknologi informasi juga dapat dikatakan memperluas dunia. Salah satu dampak dari perkembangan teknologi informasi adalah hilangnya batas-batas antar negara khususnya dalam hal persebaran informasi. Seorang anak di Desa Ranu Pane yang terletak kaki Gunung Semeru bisa saja ikut mengutuk kekejaman Israel yang menjajah Palestina setelah menonton berita di televisi. Dalam kasus ini, anak tersebut tidak lagi sekedar sebagai seorang warga desa melainkan sebagai sebuah bagian dari masyarakat global. Selain itu, teknologi informasi juga mengikis batas-batas budaya. Masyarakat yang dulunya terfragmentasi dalam budaya-budaya lokal yang sangat beragam kini diseragamkan dalam sebuah budaya besar yang dikenal sebagai budaya populer. Cara berpakaian pemuda-pemuda di Amerika yang disebarkan melaui televisi akhirnya menjadi budaya populer yang diikuti oleh sebagian besar pemuda dunia. Pemuda-pemuda yang tidak ikut mainstream budaya ini diberi label ketinggalan zaman. Demikianlah perkembangan informasi menjadikan dunia seseorang yang dulunya terbatas dalam sebuah teritori dan budaya kini semakin diperluas menjadi bagian dari sebuah komunitas global.
Kondisi dimana semakin cepat dan luasnya pertukaran informasi sebagai akibat berkembangnya teknologi informasi menjadikan masyarakat semakin terbuka dengan berbagai informasi. Masyarakat dapat mengakses berbagai perubahan yang terjadi dibelahan bumi yang lain dan membandingkan dengan apa yang terjadi dilingkungannya. Perbandingan tersebut melahirkan keinginan untuk menyerupai perubahan yang terjadi di tempat lain yang menurutnya lebih baik dan sebaliknya berkeinginan menghindari kondisi yang dinilai lebih buruk (Firmansyah: 2012). Gelombang revolusi dan demokratisasi yang terjadi secara beruntun di timur tengah tahun-tahun terakhir ini menunjukkan bagaimana perubahan di sebuah negara dapat menginsipirasi negara lain untuk melakukan hal yang serupa. Disinilah terlihat bahwa perkembangan teknologi informasi telah memiliki pengaruh yang sangat penting dalam dunia politik. Informasi yang beredar begitu cepat dan begitu luas dapat mempengaruhi cara masyarakat melihat dan bersikap terhadap sebuah fenomena politik.
Telah nampak jelas bagaimana pengaruh perkembangan teknologi informasi dalam tatanan makro politik khususnya dalam hal pembentukan cara pandang masyarakat terhadap sebuah fenomena politik. konteks serupa juga dapat dijumpai dalam tatanan mikro yaitu dalam tatanan proses pengambilan keputusan. Informasi memiliki peran penting dalam semua tahapan pengambilan keputusan, mulai dari agenda setting, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan hingga evaluasi kebijakan. Tulisan ini akan fokus membahas bagaimana pengaruh informasi dalam penetapan agenda pemerintah kebijakan (agenda setting).
Pengaruh Media Informasi dalam Agenda Setting
Kebijakan pemerintah dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah (Thomas R. Dye dalam Nugroho:2012). Ketika terjadi sebuah masalah dalam masyarakat, pemerintah dapat memutuskan melakukan sebuah tindakan untuk mengatasi masalah tersebut atau memutuskan tidak melakukan tindakan terhadap masalah tersebut. Dalam kasus kenaikan harga minyak dunia, pemerintah dapat memutuskan untuk menaikkan harga atau tidak merespon kenaikan harga minyak dunia tersebut. Kedua-duanya dapat disebut sebagai kebijakan pemerintah karena baik menyesuaikan harga maupun mendiamkannya masing-masing memiliki dampak kebijakan. Namun demikian, konteks tidak melakukan tindakan tertentu untuk mengatasi masalah di masyarakat bukan hanya sekedar karena sengaja tidak melakukan apa-apa. Penyebab lain pemerintah tidak melakukan tindakan adalah karena ada masalah lain yang lebih penting untuk diselesaikan. Keterbatasan kemampuan pemerintah menyebabkannya harus memilih masalah mana yang harus diperhatikan dan mana yang harus diabaikan. Penentuan prioritas inilah yang disebut sebagai agenda setting (Kusumanegara:2010).
 Dari ulasan diatas terlihat bahwa sebuah pilihan tindakan (kebijakan) selalu dimulai dari masalah yang terjadi dalam masyarakat. Dalam konsep pemerintahan terdapat dua kutub besar terkait pemilihan masalah untuk dijadikan kebijakan. Kedua kutub tersebut yaitu antara negara dan pasar. Dalam kutub negara, agenda setting ditentukan sendiri oleh pemerintah melalui aktivitas terencana yang sejak awal menjadi tujuan utama. Disini, pemerintah yang menentukan apa masalah dari masyarakat dan apa tindakan untuk mengatasi masalah tersebut. Di kutub pasar, agenda ditentukan oleh masalah-masalah yang menjadi perhatian masyarakat. Pemerintah bersikap lebih reaktif ketika terjadi masalah yang menjadi perhatian masyarakat.
Pada kutub negara mengatur semua agenda setting, arus informasi semaksimal mungkin di kontrol oleh pemerintah. Informasi-informasi yang tidak merugikan jalannya pemerintahan dibatasi semaksimal mungkin begitu pula sebaliknya, informasi yang menguntungkan pemerintah dipublikasikan secara massif. Sebagai contoh, di Singapura informasi khususnya di televisi dan media cetak di kontrol untuk kepentingan pembagunan. Ketika terjadi demonstrasi anarkis di Indonesia, koran-koran nasional menjadikan berita tersebut sebagai headlinenya. Massifikasi informasi tersebut dimaksudkan untuk membentuk opini publik agar tidak senang dengan model demokrasi yang sangat bebas seperti di Indonesia. Publik di Singapura akhirnya memaklumi adanya sejumlah pembatasan-pembatasan hak seperti hak mengeluarkan pendapat dll. Dengan demikian pemerintah bebas menjadi aktor tunggal dalam menjalankan pemerintahan termasuk menentukan masalah-masalah yang menjadi prioritas kebijakan.
Di kutub yang berbeda,  dalam kutub pasar, masalah kebijakan dipengaruhi oleh seberapa besar perhatian masyarakat terhadap sebuah masalah. Pemerintah memberi prioritas terhadap sebuah masalah setelah masalah tersebut mendapat perhatian dari masyarakat luas. Kasus masalah jembatan sungan Ciberang Lebak Banten misalnya (penetapan agenda di Indonesia merupakan gabungan kedua kutub), perhatian pemerintah terhadap kasus tersebut muncul setelah media Inggris (Reuters dan Daily Mail) memberitakan dan mempublikasikan foto kondisi tersebut. Foto-foto pelajar yang meniti jembatan miring diatas sungai yang mengalir deras tersebut mendapat perhatian luas di masyarakat dunia. Perhatian masyarakat dunia tersebutlah yang akhirnya membuat pemerintah melalui Kementerian Daerah Tertinggal mengucurkan dana satu milliar untuk memperbaiki jembatan tersebut (Simanjuntak dkk: 2013).
Jika dicermati, baik dalam kutub negara maupun kutub pasar, media informasi memiliki peran penting dalam penetapan agenda kebijakan. Dalam kutub negara, pemerintah menggunakan media untuk mempengaruhi opini publik agar menyetujui agenda pemerintah. Begitupun dalam kutub pasar, media menjadi sarana memperluas perhatian publik sehingga menjadi agenda pemerintah. Kondisi ini digambarkan oleh Rogers dan Dearing (dalam Parsons: 2011) sbb:

kebijakan
Sumber: Parsons (2011)

Disini ditegaskan ada tiga jenis agenda yaitu agenda media, agenda publik dan agenda kebijakan. Disini terjadi dua alur yaitu agenda media yang mempengaruhi agenda publik untuk kemudian mempengaruhi agenda kebijakan dan alur agenda kebijakan yang mempengaruhi agenda media dan agenda publik. Teori ini semakin mempertegas arti media informasi dalam siklus penetapan agenda pemerintah. Media informasi dapat mempenaruhi agenda publik (opini publik) yang melahirkan tuntutan atau dukungan terhadap agenda kebijakan pemerintah.
Bagaimana media dapat mempengaruhi opini publik dijelaskan oleh Noelle-Newman (dalam Junaedi:2007). Asumsi dasarnya adalah secara alamiah, setiap orang memiliki perasaan takut dikucilkan oleh orang lain sehingga berusaha membangun konsensus. Dalam hal opini publik, perasaan takut terkucilkan menjadi alasan untuk seseorang untuk mengikuti opini mayoritas. Jika opini mayoritas semakin tersebar dan meluas dalam masyarakat maka semakin senyap pula suara perseorangan yang berlawanan dengan opini mayoritas tersebut. Kondisi inilah yang kemudian disebut sebagai gelombang kebisuan (Junaedi: 2007). Demikianlah mekanisme kerja media informasi dalam membentuk opini publik sehingga publik mengikuti apa yang diagendakan oleh media.
Penutup
Perkembangan media informasi telah merasuki sendi-sendi kehidupan termasuk kehidupan politik. Media Informasi tidak sekedar menghadirkan informasi menjadi lebih mudah, lebih luas dan lebih cepat di akses melainkan juga mempengaruhi cara berpikir seseorang. Dalam pross kebijakan, media infomasi dapat mempengaruhi opini publik sehingga melahirkan tuntutan dan dukungan terhadap sebuah agenda kebijakan. Dengan demikian, menguasai media dapat juga berarti menguasai opini publik. Menguasai opini publik berarti juga menguasai agenda pemerintah, sedangkan menguasai agenda pemerintah berarti menguasai apa yang harus dan tidak harus dilakukan pemerintah. Dengan kata lain menguasai media sudah bisa dikatakan menguasai pemerintahan. Tidak heran jika muncul pernyataan bahwa di era teknologi informasi sekarang ini, “menguasai informasi berarti menguasai dunia”.

Referensi
Firmanzah. 2012. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Junaedi, Fajar. 2007. Komunikasi Massa: Pengantar Teoritis. Yogyakarta: Santusta
Kusumanegara, Solahuddin. 2010. Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik. Yogykarta: Gava Media
Nugroho, Riant. 2012. Public Policy. Jakarta: Gramedia
Parsons, Wayne. 2011. Public Policy: Pengantar Teori & Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari
Simanjuntak, Bungaran Antonius dkk. 2013. Dampak Otonomi Daerah di Indonesia: Merangkai Sejarah Politik dan Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Winarno, Budi. 2009. Pertarungan Negara Vs Pasar. Yogyakarta: Media Pressindo

Jumat, 12 April 2013

Dilema Etika



Ada rasa bimbang setelah menonton film “Warriors of the Rainbow Seediq Bale  tentang hakekat pembangunan sumber daya manusia. Film yang dibuat berdasarkan kisah nyata tersebut menggambarkan kehidupan salah satu suku pedalaman di Taiwan pada masa penjajahan Jepang. Di bagian awal film digambarkan tradisi berburu yang sudah turun temurun dilakukan oleh masing-masing suku. Kejadian yang dramatis diawal cerita yaitu ketika terjadi perang antar suku yang disebabkan karena klaim daerah perburuan. Perang tersebut meninggalkan kesan bahwa suku-suku pedalaman yang hidup dihutan masih terkesan “bar-bar/biadab” menurut pandangan umum.
Seorang lelaki dari setiap anggota suku hanya berhak mendapatkan tato tanda dia telah menjadi “kesatria pelangi” apabila telah berhasil memenggal kepala musuh. Tradisi seperti itu dibangun dengan filosofi dasar “keberanian” sebagai landasan utama kehidupan para lelaki dari setiap suku.  Hanya lelaki yang pemberani yang dapat bergabung dengan para leluhurnya di surga yang mereka anggap berada di ujung pelangi. Itulah mengapa para lelaki yang mendapat tato kesatria menamai diri mereka dengan kesatria pelangi (seediq bale).
Fase kehidupan mereka berubah segera setelah Jepang masuk dan menjajah mereka. sempat terjadi perlawanan sebelum Jepang akhirnya mengalahkan mereka. Untuk menghindari perlawanan, para pimpinan suku dibawa ke Jepang dan diperlihatkan bagaimana kuatnya kekuatan militer Jepang. Perlawanan kepada Jepang hanya akan berujung kematian bahkan akan memusnahkan seluruh anggota suku. Pikiran itulah yang dibawa pulang oleh para pimpinan suku sehingga tidak ada keberanian bagi mereka untuk melakukan perlawanan kepada Jepang. Hasilnya, para pemuda dipaksa bekerja membangun “peradaban modern” ditengah hutan. Dengan tenaga-tenaga para lelaki dari setiap suku, Jepang membangun pemukiman modern yang didalamnya terdapat sekolah, rumah sakit, kantor pos, kantor polisi dll. Wanita-wanita dari suku dijadikan pembantu rumah tangga oleh Jepang. Anak-anak kecil dipaksa untuk masuk sekolah dan belajar bahasa Jepang.
Dalam masa penjajahan, sikap orang Jepang sebagai penjajah terbagi dua. Ada sebagian dari mereka yang bersikap baik kepada orang-orang dari suku pedalaman dan sebagian lainnya bersikap kasar dan sombong. Kelompok kedua ini yang lebih dominan dalam kehidupan sehari-hari di pemukiman tersebut. Anak-anak sekolah merasakan adanya diskriminasi antara mereka dengan anak-anak dari Jepang. Para pekerja tidak mendapat gaji yang layak dan setimpal dengan pekerjaannya. Dua orang diantara warga asli yang bekerja di kepolisian Jepang tidak pernah mendapat perlakuan yang adil meskipun mereka yang paling tinggi sekolahnya diantara para polisi Jepang yang bertugas di wilayah tersebut. Kondisi ini membangkitkan rasa benci yang menumpuk dalam diri para anggota suku pedalaman.
Menjelang adegan pemberontakan, terdapat sebuah dialog yang sangat dilematis dalam konteks pembangunan sumber daya manusia. Dialog ini terjadi antara pimpinan dari salah satu suku yang menginisiasi pemberontakan dengan salah seorang anggota suku yang bekerja sebagai polisi Jepang. Polisi Jepang mengawali dialog dengan mengingatkan bagaimana kuatnya kekuatan militer Jepang yang tidak mungkin untuk dilawan. Salah satu pertanyaan yang penting untuk disimak adalah “apa buruknya kita dipimpin oleh Jepang? Bukankah anak-anak kita bisa bersekolah dan menjadi pintar? Bukankah Jepang membangun rumah sakit untuk kita berobat? Bukankah kita tidak lagi harus berperang antar suku?” Semua pertanyaan itu menegaskan bahwa kehidupan anggota suku menjadi lebih beradab dibawah kepemimpinan Jepang. Namun jawaban dari pimpinan suku tersebut juga tidak kalah penting untuk disimak. Kepala suku menjawab dengan kembali bertanya, “apakah dengan itu semua kehidupan kita menjadi lebih baik dari sebelumnya?” Kepala suku melanjutkan dengan mengingatkan filosofi kehidupan suku mereka yaitu “keberanian”. Suku mereka belum pernah dijajah sepanjang sejarah dan ketika mereka dijajah tanpa mampu melawan, mereka ragu apakah mereka masih bisa disebut sebagai seorang seediq bale. Jika mereka tidak melawan mereka ragu apakah mereka masih bisa bergabung dengan roh leluhur mereka di ujung pelangi.
Pilihan yang kemudian dipilih adalah memberontak dan melawan penjajahan dengan konsekuensi apapun. Penyerangan pertama menghasilkan pembantaian secara meluas kepada semua orang Jepang di perkampungan Jepang di pedalaman tersebut namun sialnya ada satu orang yang lolos dan meminta bantuan. Maka datanglah tentara Jepang dengan kekuatan penuh. Suku pedalaman pun tetap melakukan perlawanan sengit dan menunjukkan kualitas perlawanan dimana hanya dengan 300 orang melawan ribuan tentara Jepang. Hal tersebut tentunya menjadi sesuatu yang mengejutkan bagi bangsa Jepang yang menganggap suku pedalaman tersebut sebagai suku liar, bar-bar dan bodoh. Namun di akhir cerita, suku pedalaman semakin terdesak dan sebagian besar pejuang meninggal dalam pertempuran. Sebagian lelaki pejuang dan wanita yang tersissa, memilih bunuh diri dengan cara menggantung diri di pepohonan. Mati lebih terhormat bagi mereka ketimbang harus hidup tertindas atau terjajah. Sebuah konsistensi yang digerakkan oleh semangat transendental akan janji-janji surga diujung pelangi.
Kasus Indonesia
Dizaman modern seperti saat sekaran ini, di Indonesia masih hidup beberapa suku yang masih bertahan dengan tradisinya. Suku-suku tersebut contohnya adalah suku Kajang di Sulawesi Selatan, Suku Dayak Punan dan Ngayu di Kalimantan, Suku Korowai di Papua, dll. Sebagian dari mereka masih hidup dengan cara primitif seperti yang digambarkan dalam film diatas yaitu berburu, berperang antar suku, memenggal kepala bahkan mungkin kanibalisme (informasinya masih belum pasti); sementara sebagian lainnya hidup dengan cara tradisional yaitu belum tersebtuh modernitas tetapi juga tidak primitif.
Menyimak apa yang digambarkan pada ulasan singkat film warriors of rainbow seediq bale kemudian dibandingkan dengan konteks suku-suku primitif maupun tradisional di Indonesia tentu juga akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dilematis. Dilema-dilema yang muncul adalah seputar pembangungan sumber daya manusia bagi suku-suku tersebut. Pertanyaan pertama adalah apakah perlu dilakukan pembangunan sumber daya manusia bagi suku-suku tersebut dalam artian membuat mereka menjadi lebih “beradab”, sementara mereka memiliki standar peradaban yang berbeda. Dari film diatas kita mendapatkan gambaran bahwa nilai tertinggi yang menyusun peradaban mereka adalah keberanian sehingga bangunan kebudayaannya dibawahnya disusun untuk mendukung pencapaian nilai tertinggi tersebut. Jadi beradab menurut mereka ketika mereka melakukan akis-aksi yang berani. Letak dilema pembangunannya adalah disatu sisi suku-suku primitif menganggap diri mereka sudah beradab dan sudah nyaman dengan peradabannya sementara disisi lain pemerintah memandang aktualisasi peradabannya (misalnya memenggal leher musuh) adalah tidak beradab. Penekanan tersebut menegaskan pertanyaan bahwa apakah perlu menginternalisasikan nilai-nilai perdaban pada masyarakat yang sudah memiliku nilai-nilai peradabannya sendiri?
Pertanyaan selanjutnya jika dipandang perlu untuk melakukan pembangunan peradaban masyarakat primitif adalah sejauh mana pembangunan itu dilakukan? Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pendidikan sebagai instrumen pembangunan sumber daya manusia cenderung menjadikan masyarakat menjadi homogen dalam satu nilai universal. Kita lihat sebelum masa penjajahan, bangsa Indonesia benar-benar heterogen dilihat dari pakaiannya, bahan makanannya dll. Pembangunan kemudian menjadikan bangsa Indonesia homogen dari cara berpakaian, bahan makanan dll.sehingga masyarakat menjadi kehilangan identitas tradisinya. Kenyataan ini yang menjadi dasar pertimbangan dalam kasus pembangunan sumber daya manusia yang masih primitif di Indoensia. Pointnya adalan bagaimana menjadikan mereka beradab tanpa harus membuat mereka kehilangan jati dirinya sebagai sebuah entitas. Jawabannya dapat dibangun dari pertanyaan pokok sejauh mana pembangunan atau internalisasi nilai itu harus dilakukan?
Dua pertanyaan etik yang muncul dari ulasan diatas yaitu pertama apakah harus dilakukan internalisasi nilai-niai peradaban kepada masyarakat yang telah memiliki nilai-nilai peradabannya sendiri? dan kedua adalah jika memang perlu, sejauh mana internalisasi nilai tersebut harus dilakukan agar tidak mengubah jati diri yang has dari sebuah masyarakat?

 
 
Blogger Templates