Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail
Tampilkan postingan dengan label Ekspedisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ekspedisi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 28 Oktober 2016

Anak-Anak Kuri Caddi

Pagi itu tak seperti pagi biasanya bagi bocah-bocah dusun Kuri Caddi. Sekitar setengah delapan pagi, beberapa orang diantara mereka sudah mulai berkumpul di sekitar tempat kami berkemah. Beberapa orang tampak mengenakai pakaian rapi dan bersih seperti hendak ke pesta. Padahal mereka sengaja diminta datang membantu kami membersihkan di sekitar sekolah mereka. Sekolah yang mereka gunakan secara bergantian antara siswa Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah. Satu-satunya sekolah di dusun itu. 

Sembari menunggu kami yang terlambat bersiap-siap, anak-anak berkumpul di kantin di samping sekolah. Sebuah ruangan berukuran sekitar 4 x 4 meter. Hampir di seluruh ruangan dipenuhi dengan beraneka macam makanan ringan yang tergantung dimana-mana. Banyak merk makanan ringan yang baru pertama kali saya temukan di tempat itu. Ya, sudut-sudut desa terpencil memang selalu menjadi sasaran empuk para penjual makanan ringan. Anak-anak kecil senang saja berbelanja tanpa tau bahayanya bagi kesehatan. Pagi itu, mi gelas menjadi primadona anak-anak kecil. Tampaknya mereka dibekali uang jajan oleh orang tua masing-masing. 

Selasa, 22 September 2015

Sepenggal Cerita tentang Papua

kisah papua
Potongan berita online tentang Papua
Sumber: merdeka.com


Suatu ketika di Papua saat mencari rumah responden, dengan arahan sekumpulan anak kecil yang menjadi penunjuk jalan, saya melewati pekarangan rumah yang cukup besar dibanding dengan rumah-rumah warga di sekitarnya. Begitu selesai melakukan wawancara dengan responden, seorang ibu telah menunggu dengan tatapan sinis. Benar saja, ibu yang saya maksud adalah ibu pemilik rumah yang pekarangannya saya lewati tadi. Terjadi dialog singkat yang agak menggelitik:

Rabu, 23 April 2014

Selamat dari Merapi


Yogyakarta 20 April 2014 merapi kembali meletus. Media memberitakannya sebagai letusan ringan. Kami merasakannya sebagai letusan dahsyat. Di saat yang sama merapi meletus, kami sedang berada dalam radius satu kilometer dari puncak merapi.

Sabtu, 16 November 2013

Catatan Perjalanan di Borobudur


Jogja, 15 Novermber 2013, sekitar pukul 10.00 pagi saya beberapa orang teman berangkat ke Borobudur. Ini kali kedua saya ke Borobudur meskipun baru pertama kali masuk ke wilayah candinya. Seperti perjalanan sebelumnya, perjalanan kali ini juga dalam rangka mengantar teman-teman yang datang ke Jogja. Bedanya, jika sebelumnya saya hanya jadi penumpang kali ini saya yang jadi drivernya.

Tepat sebelum shalat jumat kami sudah sampai di Borobudur. Setelah shalat Jumat, kami masuk ke wiilayah Borobudur. Sebelum masuk ke wilayah candi, kami menyempatkan diri makan siang sembari mepersiapkan energi untuk berkeliling di Candi Borobudur. Diantara banyak warung makan, entah kenapa teman-teman memilih warung yang catnya serba pink. Mulai dari tembok, kursi meja, dapurnya semuanya berwarna pink. Aneh juga rasanya duduk di antara barang-barang yang diwarnai dengan warna yang terkesan feminim sementara tidak satu pun wanita yang ikut dalam rombongan. Lebih parahnya lagi, diatara kami ada seorang tentara dan beberapa orang mantan "anak Mapala". Image yang tentu saja maskulin dikelilingi oleh warna-warna yang feminim. Tapi sepertinya hanya saya yang berpikir begitu. Teman-teman yang lain tidak tampak mempersoalkan hal sepele yang menjadi perhatianku.
Sambil menunggu makanan yang  kami pesan, tempat kami diserbu oleh ibu-ibu yang berjualan souvenir. Mereka sangat gigih menawarkan barang dagangannya hingga beberapa orang diantara kami tertarik untuk membeli souvenir dengan harga yang beragam. Ada yang dapat harga yang lebih mahal dan ada pula yang berhasil menawar dengan harga standar. Yang menarik ketika gelombang pertama penjual souvenir pergi, serbuan penjual souvenir gelombang kedua kembali menghampiri kami. Meskipun sudah ditegaskan bahwa kami sudah punya souvenir yang di tawarkan, ibu-ibu itu masih saja terus menawarkan dengan bermacam-macam "kalimat promosinya". Salah seorang penjual mengatakan "ini harganya murah mas, harga hujan". Ha' harga hujan? saya berpikir sejenak sambil menahan tawa. Mungkin yang dimaksud harga hujan yaitu harga murah karena pengunjung kurang di saat hujan. Ini hukum ekonomi dengan bahasa rakyat pikirku. Setelah yang satunya pergi, datang lagi pedagang lain yang mewarkan souvenir dengan kalimat promosi: "beliin anaknya mas" katanya kepada kami semua. Refleks saya menjawab, "disini belum ada yang punya anak mbak". Kemudian ibunya membalas "ya emang sampai tua gak bakalan punya anak mas, istrinya yang punya. Beliin ponakannya aja kalau begitu". Mendengar jawaban itu, pikiranku buntu, tidak mampu menelaah kalimat itu secara jernih. Saya takut kalau itu adalah doa, Nauzubillahi min zalik. Belakangan baru saya mencoba memahami maksudnya, mungkin saya terlalu berprasangka buruk menganggap ibu itu mendoakan yang buruk-buruk, semoga maksudnya "gak bakalan punya anak" itu adalah tidak mungkin melahirkan. Biarpun mendapat pencerahan, saya akhirnya lebih memilih diam dan tersenyum saja sambil mengangkat tangan menunjukkan ekspresi penolakan. Ekspresi yang saya yakini sebagai ekspresi penolakan secara halus. Maklum, waktu kuliah dulu pernah ikut mencari dana kegiatan dengan menjadi sales makanan ringan di Pantai Losari. Meskipun yang ditawari tidak membeli dagangannya kami, tetapi tentu beda rasanya jika ditolak dengan senyum daripada "dicuekin".

Ketika makanan sudah ada di hadapan kami, hujan turun secara perlahan-lahan, mulai dari gerimis hingga hujan badai. Saya yang duduk di bagian paling ujung kursi panjang harus berhenti sejenak makan dan memindahkan makanan ke kursi lain yang terlindung dari hujan. Sampai makanan kami habis, hujan terus saja turun sehingga kami masih harus menunggu hingga hujan reda. Satu kejadian unik terjadi di saat itu. Ketika selokan di samping kios penuh dengan air hujan, seekor tikus sebesar anak kucing keluar dari selokan dan lari berteduh di bawah pohon. Mungkin karena merasa kedinginan, tikus itu berlari ke arah kios pakaian di depan warung tempat kami makan. Pemilik kios yang kebetulan berdiri di depan kiosnya melihat tikus itu berlari kearahnya dan berusaha melompat masuk ke kiosnya. Lompatan pertama dan kedua tikus itu berhasil di tepis oleh ibu pemilik kios. Ibu itu menepis tikus yang mencoba masuk ke kiosnya persis seperti kiper yang menahan bola masuk ke gawangnya. Rasa dingin yang berlebihan mungkin mendorong tikus itu berbuat nekat. Pada lompatan ketiga tikus itu berhasil masuh kek kios baju tersebut dan bersembunyi entah dimana. Sampai hujan reda dan kami sudah maninggalkan warung makan, ibu pemilik kios itu masih membogkar-bongkar barangnya untuk mencari tikus nekat itu.

Seperti halnya pengunjung pada umumnya, aktifitas yang dominan kami lakukan tentu saja adalah mengambil gambar alias foto-foto. Banyak sekali spot-spot yang sangat eksotis untuk dijadikan latar pengambilan gambar. Tapi seperti halnya ketika berada di lokasi wisata atau di gunung-gunung yang pernah saya jejali, keindahan yang tampak di depan mata tidak akan pernah tertangkap secara sempurna oleh kamera secanggih apapun. Itulah mengapa melihat foto ataupun video tidak pernah memuaskan hasrat seseorang untuk datang ke suatu tempat. Yang terjadi justru sebaliknya, hasrat untuk berkunjung justru semakin bertambah setelah melihat foto atau video orang lain yang sudah pernah ke tempat itu.

MENGAGUMKAN!!! Mungkin kata itu yang terpikirkan ketika melihat Borobudur ini. Saya sungguh kagum melihat batu-batu yang tersusun rapi menyerupai puzzle di ukir dengan sangat detail. Saya lalu berpikir bagaimana bangunan semegah dan sekompleks ini bisa dibangun oleh orang-orang disaat teknologi arsitektur belum berkembang? Mungkinkah rumor yang mengatakan bahwa bangunan ini dibangun dengan bantuan jin adalah benar adanya? Mungkinkah di zaman dimana ilmu teknik sudah berkembang pesar, masih ada yang mampu membuat bangunan seperti ini? Ah, daripada pusing memikirkan jawabannya, saya cukup menikmati saja keindahannya.

Mendekati tingkat teratas dari Borobudur, beruntung saya mendengar banyak hal dari Guide yang bercerita banyak kepada pengunjung lain. Banyak hal yang sebelumnya tidak diperhatikan secara detail ternyata mengandung banyak makna simbolik. Salah satunya adalah ketika kammi sudah hampir sampai pada tingkat tertinggi di Borobudur, ternyata sudah tidak ada lagi ukiran-ukiran manusia dan binatang. Alasannya katanya karena tingkat itu sudah tingkatan surga sehingga tidak lagi ada pelajaran hidup disitu. Selain itu, digambarkan bahwa setiap tingkat di lantai atas ini memiliki stupa model stupa yang berbeda. Ada yang puncaknya bersegi empat yang dimaknai sebagai surga bagi orang-orang yang mengamalkan empat ajaran. Di tingkat selanjutnya dianggap sebagai surga dengan tingkatan yang lebih tinggi. Puncak dari stupa ini bersegi delapan yang berarti telah menjalankan delapan ajaran. Tingkatan ini katanya tingkatan surga bagi orang-orang suci. Satu hal lagi yang sempat saya dengar yaitu hawa-hawa dingin yang terasa di puncak Borobudur itu bukan berasal dari angin melainkan aliran energi. Guide itu menunjukkan puncak pohon yang hampir setinggi tempat kami berdiri itu sama sekali tidak menunjukkan adanya gerakan yang berarti tidak ada angin pada saat itu. 

Puas berkeliling dan mengambil gambar, kami pun memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan turun dari tingkat atas, saya sudah mulai detail memperhatikan ukiran-ukiran di dinding Borobudur. Sebagian ukiran yang saya anggap unik tidak lupa saya ambil gambarnya. Sampai di bawah, dalam perjalanan keluar lokasi candi, saya melihat masih banyak lokasi menarik dari candi Borobudur yang menarik untuk dikunjungi diantaranya ada dua museum dan satu kandang gajah, sayang waktu kami terbatas. Ini menjadi catatan penting buat saya jika suatu saat dapat kesempatan kembali ke Borobudur. Setidaknya, dua hal yang saya yakini perlu diperhatikan yaitu datang lebih pagi, dan membekali diri dengan pengetahuan sejarah Borobudur biar lebih detail mengamati setiap sudut Borobudur.

Keluar dari lokasi Candi Borobudur saya berpikir ini akhir dari cerita perjalanan kali ini. Namun ternyata satu pengalaman penting saya dapatkan ketika menunggu teman-teman berkumpul sebelum pulang. Seperti sebelum masuk wilayah candi, saat keluar pun kami masih di serbu oleh penjual souvenir yang datang silih berganti. Reaksi saya masih seperti tadi, menolak secara halus dengan senyuman. Namun ternyata satu diantara pedagang souvenir itu tidak seperti pedangan sebelumnya yang menawari saya souvenir. Pertama kali ibu itu menawarkan souvenirnya saya masih sempat menolak. Tetapi begitu melihat senyumnya, saya melihat ada rona kecewa dan kesulitan hidup yang ditampakkannya sebelum saya akhirnya menyadari satu hal yang sangat mengganggu pikiran dan perasaan saya. Senyum ibu itu mirip dengan senyum ibu saya. Saya betul betul terhentak dan akhirnya membeli souvenirnya. Saya membelinya bukan dengan niat ingin memiliki souvenirnya tetapi agar ibu itu merasa senang dan semoga terbantu dengan lakunya barang dagangannya. Yang saya sesali hingga sekarang adalah mengapa saya masih sempat menawar barang dagangannya. Mungkin karena saya sudah tau harga standar barangnya makanya saya pikir cukup dengan membeli harga standarnya. Tetapi yang mengganggu adalah saya mendapati diri saya setengah-setengah dalam menolong.

Hanya dengan melihat wajah ibu saya di raut muka ibu itu membuat saya sedemikian sedih. Satu hal yang saya syukuri adalah dia bukan ibu saya dan ibu saya tidak bekerja seperti itu. Saya kemudian berdoa semoga saya tidak akan pernah membiarkan ibu saya bekerja seperti itu. Tapi saya juga sadar bahwa ibu yang tadi memang bukan ibu saya tapi kemungkinan dia ibu dari seongan anak yang mungkin tidak berdaya hingga membiarkan ibunya harus mengejar-ngejar (sebagian sudah memohon-mohon) pelanggan untuk membeli barang dagangannya. Saya sadar sekali bahwa saya hanya dianugerahi kesempatan yang lebih baik dari mereka. Saya dilahirkan dari keluarga yang mau dan mampu membiayai saya sekolah hingga pasca sarjana seperti sekarang ini. Sementara mereka hanya tidak beruntung dilahirkan di lingkungan yang tidak beruntung. Saya tau persis kondisi ini, karena ilmu saya memang memungkinkan untuk memahami fenomena ini. Yang semakin membebani adalah saya sering menjadi pemateri tanggungjawab kaum intelektual yang tidak hanya membahas fenomena ketimpangan karena persoalan kesempatan tetapi juga tanggung jawab yang lahir dari anugerah kesempatan yang menguntungkan itu. Semoga beban ini mengingatkan dan meneguhkan tekad saya untuk dapat berbuat lebih untuk orang-orang tidak beruntung seperti mereka.Perjalanan pun usai, tapi tidak dengan cerita dan kisah spiritual yang ditinggalkannya. Semoga masih ada kesempatan untuk kembali ke Borobudur, dan yang paling penting Semoga ada diberik kemampuan, kesempatan dan diteguhkan tekadku untuk berbuat banyak kepada orang-orang lain khususnya untuk ibuku, keluargaku dan orang-orang yang tidak punya banyak pilihan dalam menjalani hidupnya..Amin

Selasa, 17 September 2013

Jogja Nol Kilometer: Catatan Seorang Awam

Tulisan ini merupakan hasil akumulasi dari catatan-catatan kecil penulis selama kurang lebih dua bulan pertama berada di Kota Yogyakarta. Banyak kesan yang muncul dalam pikiran penulis tentang Yogyakarta, namun satu kata yang secara sederhana mewakili semua kesan itu adalah kata “Unik”. Secara kebetulan, RUU Keistimewaan Yogyakarta yang disahkan menjadi Undang-Undang Keistimewaan sekitar satu bulan yang lalu menegaskan kesan unik tersebut.
Jika ingin dirunut satu persatu maka tak cukup waktu untuk membuat daftar keunikan Jogja. Untuk itu, keunikan yang akan disorot dalam tulisan ini adalah beberapa keunikan di Kilometer Nol Kota Yogyakarta. Lebih khusus lagi, tempat-tempat yang menjadi fokus pembahasan yaitu Malioboro, Alun-Alun Utara, Kraton Jogja, Istana Kepresidenan Yogyakarta, Taman Pintar dan Shoping Center. Masing-masing tempat memiliki keunikan dari berbagai sisi.
Kita mulai dari keunikan berdasarkan sisi akses publik. Jika diberi hirarki berdasarkan akses publik maka Malioboro dan Alun-Alun Utara merupakan kawasan dengan akses publik yang paling besar. Di kedua tempat itu, semua kalangan masyarakat bebas untuk beraktifitas. Disana dapat dijumpai semua kalangan masyarakat mulai dari yang miskin maupun yang kaya; pejabat, bangsawan atau rakyat biasa; berpendidikan  ataupun tidak berpendidikan; dll. Sedikit berkurang akses publiknya, Taman pintar dan Shoping Center identik dengan kalangan masyarakat yang berpendidikan. Sebagai tempat yang berbasis ilmu pengetahuan, tentu kedua wilayah ini umumnya dikunjungi oleh masyarakat-masyarakat yang berpendidikan. Selajutnya, Kraton Jogja merupakan tempat dengan akses publik yang terbatas. Beberapa tempat di kraton memang dibuka untuk wisatawan tetapi ada juga yang tertutup khusus untuk internal kraton. Yang dapat mengakses tempat ini tentulah hanya bangsawan dan orang-orang tertentu dengan seizin kraton. Terakhir dari segi akses publik, Istana Kepresidenan Yogyakarta merupakan tempat yang akses publiknya sangat minim. Masyarakat hanya bisa melihat dari luar gedung yang megah itu tanpa pernah bermimpi bisa masuk ke tempat itu. Akses tempat itu hanya untuk pejabat-pejabat pemerintah itupun tentu dengan pengawasan protokoler yang ketat pada saat presiden atau wakil presiden datang.
Keunikan lain dapat dilihat dari sisi persandingan dua unsur yang dikategorikan berbeda satu sama lain. Di kawasan Malioboro banyak ditemui kesenjangan harmonis. Disatu sisi kita melihat makanan-makanan yang dikategorikan tradisional, disisi lain ada makanan yang dikategorikan moderen. Sungguh sulit ditemui di tempat-tempat lain angkringan bersanding harmonis dengan KFC. Begitu pula di kawasan yang sama kita temukan dua sistem pasar yang berbeda. Di pinggir jalan ramai terlihat sistem jual beli yang tradisional dimana masih terjadi tawar menawar antara penjual dan pembeli dan disisi lain kita melihat beberapa Mall dengan sistem yang modern. Di satu jalan yang sama kita dapat melihat sepeda ontel bersanding dengan motor mewah, begitu pula andong bersanding dengan mobil-mobil mewah. Kesemuanya itu bertemu dan bersanding dalam satu ruang publik yang sama, betul-betul unik!

Konsistensi Sejarah
Salah satu yang membuat Jogja Nol Kilometer unik adalah faktor sejarahnya. Daerah ini merupakan daerah pertempuran mempertahankan kemerdekaan RI dari Belanda tahun 1949. Begitu banyak jiwa yang dikorbankan di daerah ini untuk mempertahankan satu kata, MERDEKA. Konsekuensi logis dari pilihan untuk menyatakan kemerdekaan dari penjajahan.
Konsistensi semangat kemerdekaan itu masih terlihat di beberapa tempat dalam kawasan Nol Kilometer ini. Monumen Peringatan Serangan Umum Satu Maret yang dibangun di persipangan jalan merupakan salah satu upaya mempertahankan kesadaran sejarah tersebut. Manifestasi semangat kemerdekaan juga dapat ditemukan dalam dua tempat penunjang ilmu pengetahuan yaitu taman pintar dan Shoping center. Kemerdekaan disini diterjemahkan menjadi kemerdekaan dari kebodohan yang merupakan musuh utama bangsa Indonesia pasca kolonialisme. Keberadaan kedua tempat tersebut merupakan salah satu bentuk perjuangan kemerdekaan yang harus tetap dilanjutkan.
Perjuangan kemerdekaan yang lain juga terlihat dalam upaya mempertahankan kemandirian ekonomi bangsa. Mayoritas pedangang yang ada di Malioboro menjajakan hasil produksi lokal. Barang yang dijual merupakan barang yang diproduksi dengan menggunakan bahan baku lokal dan  diolah atau diproduksi oleh masyarakat lokal. Sebuah bentuk kemandirian ekonomi bangsa dalam skala mikro, berarti juga sebuah usaha mempertahankan kemerdekaan bangsa dari penjajahan ekonomi global. Sebagai bentuk konsistensi terhadap semangat sejarah kemerdekaan bangsa maka seharusnya kehadiran perusahaan-perusahaan multinasional dikawasan bersejarah Malioboro ditinjau ulang keberadaannya.
Menjadi sebuah kehormatan bagi seorang awam seperti penulis dengan mengetahui betapa Istimewanya tanah Jogja dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Alangkah indahnya jika kehormatan yang sama di berikan kepada semua orang yang berkunjung ke kawasan Jogja Nol Kilometer. Untuk itu, penataan kawasan nol kilometer Jogja hendaknya lebih mengedepankan aspek historisnya guna menumbuhkan kesadaran sejarah bagi para pengunjung khususnya pengunjung dari Negara kita sendiri. Harga minimal bagi seorang pengunjung lokal adalah kesadaran sejarah bahwa ditanah mereka berpijak telah tertumpah banyak darah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, semangat berkunjung di Malioboro tidak didasari oleh nafsu konsumerisme melainkan semangat nasionalisme. Begitu pula semangat berkunjung ke Malioboro bukan sekedar semangat jalan-jalan tetapi dilandasi dengan semangat berkontribusi untuk kemerdekaan bangsa. Mungkin sudah saatnya penggunaan branding Malioboro sebagai kawasan jalan-jalan diganti dengan branding yang lebih nasionalis.

Wallahuallam bishawab


[Jogja, 28 Oktober 2012]

Rabu, 29 Mei 2013

Ekspedisi Semeru, 8-12 Mei 2013

https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/970446_4943261495941_1450156981_n.jpg
Ranupani

https://fbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/971134_4943252175708_1575834953_n.jpg
Jeep dari Tumpang ke Ranupani

https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/922724_4943212694721_717782666_n.jpg
Danau Pani (Ranupani)

https://sphotos-b.xx.fbcdn.net/hphotos-prn2/184551_4943189894151_596688323_n.jpg 
Pos Pelaporan Ranupani

https://fbcdn-sphotos-f-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/944204_4943133492741_2052092048_n.jpg 
Mahameru dilihat dari Ranupani

https://sphotos-b.xx.fbcdn.net/hphotos-prn1/936903_4942930327662_889908669_n.jpg
Ranu Kumbolo


https://fbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/21275_4942945008029_878836922_n.jpg
Danau Kumbolo (Ranu Kumbolo)

https://sphotos-a.xx.fbcdn.net/hphotos-frc1/249096_4943340857925_1948983831_n.jpg
Gradasi Cahaya di Camp Ranu Kumbolo

https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/942090_4942887646595_158448286_n.jpg
Camp Ranukumbolo


https://sphotos-a.xx.fbcdn.net/hphotos-ash3/487542_4943140852925_1851059911_n.jpg
Kalimati

https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/946743_4943134732772_2110324213_n.jpg 
Jalur Kalimati Cemoro Kandang

https://sphotos-a.xx.fbcdn.net/hphotos-snc6/248180_4943103771998_342380431_n.jpg
Camp Kalimati

https://fbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/943414_4943045410539_21214211_n.jpg
Summit attack menuuju puncak mahameru

https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/182512_4943040810424_1359832782_n.jpg
Puncak Mahameru

https://sphotos-b.xx.fbcdn.net/hphotos-ash3/941790_4943035210284_520776152_n.jpg
Puncak Mahameru

https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/971823_4943303176983_417100656_n.jpg
Plat Tanda Puncak Mahameru

https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/943337_4942990009154_1939660851_n.jpg
Pemandangan Bromo dari Mahameru

https://fbcdn-sphotos-c-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash4/428580_4942952288211_297946057_n.jpg
Sunrise di Puncak Mahameru

 
 
Blogger Templates