Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail
Tampilkan postingan dengan label Sejarah & Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah & Budaya. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 Agustus 2014

Pattiro Sompe dan Cerita tentang Keihlasan

cerita tentang keihklasan
sumber: http://pakarcinta.com/

Pattiro Sompe adalah nama salah satu gunung (mungkin lebih tepat disebut bukit) di Kota Sengkang Kabupaten Wajo. Belum ada informasi yang pasti tentang asal-usul penamaan Pattiro Sompe ini. Jika diartikan secara etimologi, pattiro dalam bahasa bugis berarti melihat dari kejauhan sementara sompe berarti merantau. Jadi pattiro sompe dapat diartikan melihat orang merantau. Tapi, terjemahan kata pattiro sompe tidak lantas dapat disematkan pada Pattiro Sompe sebagai bukit tempat melihat orang merantau. Sebab, terdapat salah satu kelurahan di Kecamatan Sabbangparu Kabupaten Wajo yang bernama Kelurahan Sompe. Ini tentu memunculkan pilihan pemaknaan lain dari Pattiro Sompe yaitu bukit tempat melihat (kelurahan) Sompe.

Rabu, 14 Mei 2014

Multiple Effect Jimpitan Ronda

inovasi pemerintahan
gambar: Jimpitan Ronda di Rumah Warga

Minggu, 11 Mei 2014, sekitar pukul 9 pagi terdengar pengumuman dari mesjid di sekitar rumah. Karena pengumumannya menggunakan bahasa Jawa maka hanya sebagian informasi saja yang saya mengerti. Intinya akan dilaksanakan kerja bakti. Hari itu, untuk pertama kalinya saya ikut kerja bakti bersama warga sejak setahun lebih bermukim di daerah tersebut. Masyarakat melakukan kerja bakti perbaikan jalan. Pada saat itu saya sempat bercerita dengan salah seorang warga mengenai banyak hal, namun yang paling menarik adalah mengenai pembiayaan perbaikan jalan.

Minggu, 04 Mei 2014

Sejarah Danau Tempe

danau tempe
Danau Tempe terletak di tiga Kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Wajo, Kabupaten Sidenreng Rappang dan Kabupaten Soppeng. Danau Tempe dikelilingi oleh tujuh kecamatan yang tersebar di tiga kabupaten diantaranya: Kecamatan Tempe, Belawa, Tanasitolo dan Sabbangparu di Kabupaten Wajo; Kecamatan Donri-Donri dan Marioriawa di Kabupaten Soppeng dan Kecamatan Pancalautang di Kabupaten Sidenreng Rappang.

Selasa, 08 April 2014

Menjadikan Nilai Siri’ sebagai Etika Pemerintahan


Jika tut wuri handayani yang merupakan sebuah kata berbahasa jawa bisa menjadi semboyan resmi institusi pendidikan nasional, dapatkah siri’ juga dijadikan semboyan dalam isntitusi pemerintahan lainnya? Pertanyaan ini menarik dikaji dengan menggunakan perspektif etika pemerintahan.
Dalam kajian etika pemerintahan, sebuah nilai dapat dijadikan sebagai etika publik jika memenuhi nilai universal. Artinya, nilai tersebut tidak hanya dimiliki oleh sekelompok orang ditempat dan waktu tertentu saja. Nilai tut wuri handayani, terlepas dari bagaimana sejarah dan proses internalisasinya, juga terdapat dalam nilai kepemimpinan dalam budaya suku Bugis. Suryadin Laoddang (http://www.sempugi.com) mengemukanan bahwa Puang Ri Maggalatung, Arung Matoa Wajo Ke-IV pernah megajarkan filosofi kepemimpinan dengan prinsip: “monriyolo patiroangngi, monri tengnga paraga-ragai, monri onri paampai’i”.  Prinsip ketiga ini yang dianggap memiliki makna yang sepadan dengan makna tut wuri handayani.
Nilai siri’ juga dapat dikatakan memiliki dimensi universal. Nilai siri’ memiliki makna malu khususnya yang berhubungan dengan harga diri. Nilai malu ini tentunya bersifat universal, yaitu ada di banyak budaya di Indonesia dalam berbagai bahasa. Pepatah “lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai” menunjukkan bahwa budaya malu itu telah lama ada dalam budaya Indonesia. Dengan demikian nilai siri’ ini sudah memenuhi salah satu syarat untuk dijadikan sebagai etika publik.
Syarat kedua yang harus dipenuhi untuk menjadi sebuah etika publik adalah harus disetujui oleh semua orang. Untuk mendapat persetujuan tersebut, paling tidak ada dua hal yang penting untuk diperhatikan. Pertama, nilai siri’ ini harus memiliki keutamaan dibandingkan nilai malu dalam budaya lainnya. Kedua, nilai ini harus terlihat secara empiris berhasil diterapkan ditempat satu tertentu.
Institusionalisasi Nilai Siri’
Siri’ merupakan nilai yang esensial dalam budaya masyarakat bugis. Siri’ bahkan dianggap sebagai esensi kemanusiaan. Banyak ungkapan yang menegaskan posisi esensial tersebut diantaranya: : “Naia tau di’e siri’na, De’i lainna olokolo’e” (Orang yang tidak ada siri’nya tidak lain adalah binatang); “Siri’emmitu tariaseng tau; Narekko de’i siri’ta, tannianik tau; Rupa tau mani’ asenna”, (hanya karena siri’ kita disebut manusia; kalau tidak ada siri’, kita bukan manusia, melainkan hanya berwujud manusia). Siri’ dianggap sebagai pembeda antara manusia dengan binatang.
Nilai siri’ memiliki dua dimensi yaitu dimensi personal dan dimensi sosial. Dimensi personalnya yaitu menjadi motif penggerak bagi individu baik yang sifatnya destruktif, maupun sifatnya konstruktif. Nilai siri’ yang sifatnya destruktif berwujud aksi menghilangkan (membunuh) semua yang menganggu siri’ seseorang termasuk menghilangkan dirinya (bunuh diri). Istilah “materi siri’na” dan “mate siri’” sepertinya tepat menggambarkan kondisi ini. Orang yang “materi siri’na” yaitu orang yang mati dalam upaya menegakkan siri’nya. Kematian seperti ini dianggap kematian secara terhormat (“mate ri gollai, mate ri santangi”). Sedangkan orang yang “mate siri’” yaitu orang yang siri’nya sudah hilang dan tak lebih dari mayat hidup. Untuk itu, orang yang merasa mate siri’ karena peristiwa tertentu akan melakukan jallo’ (amuk), hingga mati sendiri. Jallo’ yang demikian disebut napatettongi siri’na,  atau menegakkan kembali siri’nya sehingga dia meninggal dalam keadaan sebagai manusia (Mattulada, 1985: 63; dan Ahimsa, 2007: 63)
Dari gambaran tentang mate ri siri’na  dan mate siri’, nilai siri’ dapat disamakan dengan budaya harakiri di Jepang. Dizaman dahulu, para kesatria Jepang melakukan aksi bunuh diri untuk membayar sebuah kesalahan atau kegagalan dalam menjalankan tugas. Dengan demikian, harga dirinya akan kembali dipulihkan dan mereka pun mati dalam keadaan terhormat. Jika dilihat dari motif tindakannya, keduanya digerakkan oleh keinginan untuk menegakkan harga dirinya. Harga diri merupakan sesuatu yang berharga sehingga mati merupakan harga yang pantas untuk menebusnya.
Dalam perjalanannya kemudian, Jepang mentransformasi nilai tersebut kedalam etika pemerintahannya. Pejabat yang gagal dalam menjalankan pemerintahan tidak lagi melakukan harakiri melainkan dengan sukarela melepaskan jabatannya. Nilai yang tetap dipertahankan adalah keharusan melakukan pertanggngjawaban etik atas sebuah kesalahan yang dianggap merendahkan harga diri. Dengan ditemukannya banyak kesamaan antara nilai siri’ dengan harakiri, maka bukan tidak mungkin nilai siri’ dengan mudah ditransformasikan menjadi pertanggungjawaban etik serupa dengan yang terjadi di Jepang pada saat ini.
Menjadikan siri’ sebagai etika pemerintahan diharapkan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pertanggungjawaban etik dalam pemerintahan. Siri’ yang ditegakkan nyawa sebagai taruhannya mengajarkan betapa mahalnya harga sebuah pertanggungjawaban etik sehingga nyawa adalah harga yang pantas menjadi bayarannya. Perkembangan zaman tidak lagi mendukung pengorbanan nyawa untuk sebuah pertanggungjawaban. Namun demikian, nilai yang mengharuskan perntanggungjawaban etik harus dibayar mahal tidak boleh juga ikut hilang. Jika jabatan adalah sesuatu yang sangat berharga pada saat ini maka mengundurkan diri sudah dapat dianggap sebagai sebuah bentuk perttanggungjawaban yang pantas sebagai transformasi bentuk pertanggungjawaban etik.
Nilai siri’ ini juga dapat bersifat konstruktif. Bagi orang bugis, bermalas-malasan sehingga menjadi miskin atau bodoh merupakan hal yang dapat mempermalukan dan merendahkan harga dirinya. Ini menjadi motif untuk bekerja keras dan bersungguh-sungguh agar tidak mempermalukan diri sendiri. Disini siri’ dapat dilihat sebagai sebuah etos kerja. Nilai siri’ juga menjadi pengawal tingkah laku agar tidak melakukan perbuatan yang mempermalukan diri sendiri. terbukti mencuri, berbohong, berbuat curang tentu akan membuat seseorang menjadi malu sehingga harus dihindari.
Nilai siri’ selain berdimensi pribadi, juga memiliki dimensi sosial. Dimensi sosial siri’ berwujud dalam ungkapan ”masseddi siri’”. Dalam skala kelompok yang paling kecil yaitu keluarga, diajarkan bahwa hubungan suami istri hanya akan sempurna jika saling menjaga siri’ (Rahim, 2011:142). Begitu pula dalam skala yang lebih besar, setiap anggota kelompok harus saling menjaga siri’. Apabila ada salah seorang anggota kelompok yang dipermalukan maka setiap anggota kelompok lain berhak untuk ikut menyelesaikan persoalan siri’ tersebut. Begitu pula apabila ada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang tidak patut maka akan ikut mempermalukan seluruh anggota kelompok (mappakasiri’-siri’). Seorang anak perempuan yang melakukan kawin lari (silariang) akan mempermalukan seluruh anggota keluarga dan untuk itu wajib mendapatkan sanksi sosial.
Sejarah masa lalu telah menunjukkan bagaimana masyarakat masseddi siri’ dalam urusan kerajaan. Tercatat beberapa raja pernah dibunuh oleh masyarakat karena berbuat sewenang-wenang. Ada putra raja yang diusir/diasingkan (ripaoppangi tana) karena membunuh salah seorang petinggi kerajaan (http://www.rappang.com). Catatan sejarah ini menunjukkan bahwa massedi siri’ tersebut dapat dijadikan sebuah kontrol sosial yang efektif bagi jalannya pemeintahan.
Siri’ yang berdimensi sosial ini dapat ditranformasikan kedalam proses pemerintahan moderen saat ini. Jika setiap masyarakat ikut merasa malu apabila ada salah seorang dari kelompoknya yang berbuat korup kemudian menjatuhkan sanksi sosial bagi si pelaku maka akan menjadikan pejabat lain dari kelompok yang sama lebih berhati-hati. Sanksi sosial yang diharapkan tentu tidak lagi berupa pembunuhan. Aksi massa menjelang pilpres 2009 terhadap salah seorang politikus/pejabat pemerintah yang dianggap rasis dengan menyatakan “belum saatnya bagi orang sulsel untuk memimpin” kiranya cukup memadai untuk dijadikan sanksi sosial. Tentu saja bukan aksi massa penyerangan rumah pejabat tersebut yang dimaksud disini, melainkan pernyataan massa agar pejabat ybs. tidak lagi menginjakkan kaki di bumi Sulawesi Selatan. Hukuman yang bisa disepadankan dengan pengasingan dimasa lalu.
Masih dalam konteks kontrol sosial, siri’ dapat diaplikasikan dalam mencegah korupsi kecil berupa pungutan liar (pungli) dari aparat pemerintahan. Pungli ini dapat dimaknai sebagai aksi pemalakan terhadap seseorang. Aksi seperti ini seharusnya dapat dianggap merendahkan harga diri orang yang dipalak sehingga muncul perlawanan. Orang yang punya siri’ tentu tidak ingin direndahkan harga dirinya sehingga menentang aksi yang serupa. Pemaknaan ulang aksi pungutan liar ini dengan mengaitkannya dengan nilai siri’ diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk tidak pasrah dengan patologi birokrasi yang satu ini.
Nilai siri’ dalam konteks etika pemerintahan terwujud dalam nilai pertanggungjawaban etik, etos kerja, kontrol diri birokrat dan kontrol sosial masyarakat. Demikian luas dan komperhensifnya nilai siri’ ini dalam menjadikannya sangat memadai untuk dijadikan etika pemerintahan di Indonesia. Tidak berlebihan jika berharap agar nilai siri’ ini disimbolisasi menjadi semboyan Departemen Dalam Negeri sebagai induk pemerintahan di dalam dalam negeri.

Untuk mewujudkan harapan tersebut, Pemerintahan di Sulawesi Selatan sebagai pemilik nilai siri’ harus menjadi contoh nyata penerapan nilai siri’. Para birokrat harus menjaga siri’nya sebagai pemerintah, disamping itu masyarakat juga harus masseddi siri’ untuk mengawal jalannya pemerintahan dengan baik. Jika itu semua berhasil, bukan tidak mungkin kita akan membaca siri’ dalam simbol Institusi Pemeritahan Nasional. Bukan tidak mungkin pula, pemerintahan yang baik dengan berdasar pada nilai siri’ akan terwujud.

Senin, 07 April 2014

Budaya dari Meja Makan


Sengkang, 12 September 2013. Saat makan malam di rumah, terhidang dua tempat nasi yang salah satunya berisi nasi yang sudah dingin dan yang lainnya berisi nasi yang masih panas. Seketika ingatanku kembali pada tahun 2011 silam pada saat makan di rumah seorang seniorku di Himapem yang bernama Ahmad Heri Siswanto (Kak Iswan) di Kabupaten Enrekang. Pada saat itu juga terhidang dua jenis nasi masing-masing di tempat yang berlainan. Satunya nasi dingin dan satunya lagi nasi panas. Pesan yang masih melekat di ingatanku pada saat itu dari beliau adalah “Jangan dahulukan makan nasi panas dari pada nasi dingin”. Konon itu adalah “pamali” dari leluhur. Jadi, ketika di meja makan ada nasi panas dan nasi dingin, jika ingin makan kedua-duanya, dahulukan nasi dingin daripada nasi panas. Pesan moril yang konon terkandung dari pamali tersebut adalah jangan sampai panas dulu baru dingin. Panas yang dimaksud disini adalah dalam keadaan emosional atau temperamental. Jika terlanjur marah atau temperamental maka pantang untuk menyerah atau mundur. Panas dulu baru dingin itu diibaratkan seseorang yang cepat marah (tempramen) tetapi kemudian cepat pula menyerah. Kondisi ini tentu saja pantang bagi “Lelaki Bugis” yang jika sudah terlanjur marah maka harus menuntaskan kemarahannya. Dalam kondisi perkelahian misalnya, seorang laki-laki Bugis jika terlanjur marah maka harus diselesaikan dengan pertumpahan darah. Prinsipnya, “Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai”,  “Sekali badik terhunus dari sarungnya, pantang disarungkan kembali sebelum berdarah”. Nilai-nilai ini terjalin dengan begitu kompleks dalam budaya siri’.

Perkara yang sebenarnya cukup mengerikan, seketika menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk dipikirkan di meja makan. Bagaimana hal-hal yang begitu kompleks disosialisasikan secara sederhana di meja makan. Seketika pula pikiran liar tentang nasi panas dan dingin, pamali dan budaya siri’ menggiring ingatanku pada salah satu pamali lain di meja makan yang dari dulu diajarkan kepadaku. Mungkin manusiawi jika berhadapan dengan makanan enak kita sering lupa berhenti makan. Alhasil, perut sudah kekenyangan dan tidak nyaman khususnya ketika mengenakan celana yang berkancing. Pada saat seperti inilah pilihan untuk melepas kancing celana untuk memberi ruang bagi perut agar dapat terus menampung makanan yang lagi nikmat-nikmatnya di lidah. Inilah yang dianggap “pamali” oleh leluhur masyarakat Bugis, “dilarang membuka kancing celana pada saat makan”. Membuka kancing celana pada saat makan konon katanya membuat seseorang gampang menyerah. Tentu saja sifat gampang menyerah sangat bertentangan dengan nilai juang masyarakat Bugis dalam prinsip “sekali layar terkembang, pantang biduk surut kepantai”.

Makan malam pun selesai, mulut berhenti mengunyah dan perut mulai bekerja lebih lanjut untuk mencerna makanan. Demikian pula indra telah berhenti menstimulus ingatan melalui citra di meja makan tetapi otak terus bekerja memikirkan citra pamali dan budaya siri’ yang muncul dalam ingatan. Begitu kompleks budaya yang disusun oleh leluhur untuk mentransformasikan nilai-nilai bahkan sampai dimeja makan. Dalam kasus nasi dingin dan nasi panas, pamali itu bisa bertujuan ganda. Disamping bermanfaat agar nasi dingin yang masih tersisa dihabiskan terlebih dahulu supaya tidak mubazir, juga bermanfaat sebagai peneguh nilai siri’ yang menjadi tulang punggung budaya masyarakat Bugis. Begitu pula dengan pamali membuka kancing celana pada saat makan. Disatu sisi, pamali ini bermanfaat bagi kesehatan karena memang makan berlebihan itu tidak baik bagi kesehatan. Namun disisi lain, juga memiliki pesan moral agar seseorang tidak gampang menyerah dalam kehidupan. 
 
 
Blogger Templates